PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH

PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH 
Modul 1
LANDASAN PERKULIAN DAN PENGERTIAN PANCASILA
Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal, pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis (asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah kemana. Adapun pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah. Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan kebebasan yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
PANCASILA SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAHR
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode, bersistem, dan bersifat universal. Berobjek terbagi dua yakni objek material dan objek formal. Objek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut juga pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek formal adalah titik perhatian tertentu (focus of interest, point of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Bersistem atau bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan. Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Pancasila memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah sehingga dapat dipelajari secara ilmiah.
Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi ilmiah, yakni pendekatan yang dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional, dan pendekatan filosofis.
Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
TEORI ASAL MULA PANCASILA
Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
1.       Causa materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
2.       Causa formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
3.       Causa efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
4.       Causa finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsaIndonesia memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
1.       Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.       Bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan aja dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.       Bangsa Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah, pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan adanya sifat persatuan.
4.       Unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai Agung dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis Indonesia;
5.       Dalam hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
ASAL MULA PANCASILA SECARA FORMAL
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini memungkinkan bangsaIndonesia dapat mempersiapkan Kemerdekaan nya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa). Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara integralistik.
Tindak lanjut untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut dengan pi`gam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
1.       Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2.       Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3.       Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
4.       Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok.
1.       Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2.       Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesiasebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3.       Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
1.       Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
2.       Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
3.       Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
4.       Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
5.       Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
6.       Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsaIndonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsaIndonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
Modul 4
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
HUBUNGAN PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD’45; bahwa Pembukaan UUD’45 berkedudukan dan berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD’45 juga sebagai suatu yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan UUD’45 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD’45, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD’45 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan Secara Material antara Pancasila dan PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru kemudian membahas Pembukaan UUD’45; sidang berikutnya tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD’45.
KEDUDUKAN HAKIKI PEMBUKAAN UUD’45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. Adapun kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama; Pembukaaan Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan padat 17 Agustus 1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kedua adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral rakyat Indonesia yang luhur (Suhadi, 1998). Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu tujuan negara, bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang pembentukan UUD.
Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
REFORMASI PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi, antara lain sebagai berikut.
1.       Reformasi bukan revolusi
2.       Reformasi memerlukan proses
3.       Reformasi memerlukan perubahan dan berkelanjutan
4.       Reformasi menyangkut masalah struktural dan kultural
5.       Reformasi mensyaratkan adanya skala prioritas dan agenda
6.       Reformasi memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi, agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain: pertama, mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan, antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama. Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial review yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan prosedural suatu produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Modul 6
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL
PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA
Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama, antarsuku, atarras, antargolongan dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia“. Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa. Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-indonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat
PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10 bab 44 pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara eksplisit antara lain:
1.          Hak untuk hidup
2.          Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3.          Hak mengembangkan diri
4.          Hak keadilan
5.          Hak kemerdekaan
6.          Hak atas kebebasan informasi
7.          Hak keamanan
8.          Hak kesejahteraan
9.          Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
10.      Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
PANCASILA DAN KRISIS EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba ternyata tidak berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain. yang juga dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara negara
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama, tidak semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan, mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran masyarakat bukan kemakmuran individu.
Sistem Politik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Undang-undang Dasar 1945
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi negara dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang bupati/walikota.
Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 dalam proses amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Fungsi pokok MPR selaku lembaga tertinggi negara adalah menyusun konstitusi negara; mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil presiden; dan menyusun Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Fungsi pokok MPR yang disebut di atas dapat berubah bergantung pada proses amandemen UUD 1945 yang sedang berlangsung. Jumlah anggota MPR adalah 700 orang, yang terdiri atas 500 anggota DPR dan 200 anggota Utusan Golongan dan Utusan Daerah, dengan masa jabatan lima tahun.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Selaku lembaga legislatif, DPR berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan pemerintah menyusun Undang-undang. Jumlah anggota DPR adalah 500 orang, yang dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali.
Presiden/Wakil Presiden
Presiden Republik Indonesia memegang pemerintahan menurut UUD 1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam sistem politik Indonesia, Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Presiden juga berkedudukan selaku mandataris MPR, yang berkewajiban menjalankan Garisgaris Besar Haluan Negara yang ditetapkan MPR.
Presiden mengangkat menteri-menteri dan kepala lembaga non departemen  TNI/Polri/Jaksa Agung) setingkat menteri untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen) disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Mahkmah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung dilakukan Presiden.
Lembaga Tinggi Negara Lainnya
Lembaga tinggi negara lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Fungsi utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah. Temuan-temuan BPK dilaporkan ke DPR, selaku badan yang menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). DPA berfungsi untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, termasuk dalam masalah politik, ekonomi, social budaya, dan militer. DPA juga dapat memberi nasehat atau saran atau rekomendasi terhadap masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara. Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden untuk masa bakti lima tahun. Jumlah anggota DPA adalah 45 orang.
Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 30  provinsi dan 360 kabupaten/kotamadya. Sejak diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001, kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan lembaga legislatif, eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
PEMERINTAHAN
Profil Negara
Ketika pecahnya PD II di Eropa yang menyebar hingga ke pasifik, Jepang berhasil menduduki Hidia Timur Belanda pada Maret 1942, setelah menyerahnya tentara kolonial Belanda mengikuti jatuhnya Hongkong, Manila, dan Singapura.
Pada 1 April 1945 pasukan amerika mendarat di Okinawa. Kemudian pada 6 dan 9 agustus Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke atas dua kota di Jepang, hiroshima dan nagasaki. Sekian hari kemudian pada 14 agustus 1945, Jepang menyerah kepada tentara sekutu.
Peristiwa tersebut membuka peluang bagi rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tiga hari setelah menyerahnya Jepang secara mutlak, pada 17 agustus 1945 pemimpin nasional Indonesia Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di hadapan rakyat.
Proklamasi mengambil tempat pada Jalan Pegangsaan Timur 58 Jakarta, didengar oleh ribuan rakyat Indonesia di seluruh negeri karena teks tersebut disiarkan secara rahasia oleh operator radio Indonesia menggunakan pemancar milik stasion radio Jepang, Jakarta Hoso Kyoku. Terjemahan proklamasi dalam bahasa Inggris juga disiarkan ke luar negeri.
Pancasila adalah falsafah dasar negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata sansekerta, Panca berarti lima, dan sila memiliki arti prinsip. Pancasila mengandung lima dasar yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Mereka adalah:
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Undang Undang Dasar 1945
Konstitusi Republik Indonesia selalu merujuk kepada Undang Undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan karena konstitusi negara disusun dan diadaptasi pada tahun 1945 ketika pendirian republik, dan secara jelas membedakannya dari konstituso lainnya yang diperkenalkan bebas di Indonesia. Lebih lanjut, muatan danri UUD 1945 menuliskan jelas tujuan dan sasaran untuk kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan mempertahankannya di kemudian hari. Hal ini merefeleksikan semangat dan kekuatan masa tersebut ketika merancang konstitusi. Ini menginspirasikan urgensi untuk persatuan dan kesamaan tujuan serta demokrasi yang dibangun atas konsep warisan Indonesia dalam gotong-royong dan musyawarah mencapai mufakat. Diawali dengan sebuah pembukaan, undang undang dasar republik indonesia terdiri atas 37 pasal, empat aturan peralihan dan dua peraturan tambahan.
Pembukaan disusun dalam empat paragraf dan mengandung sebuah kutukan terhadap segala bentuk penjajahan di dunia, sebuah keterangan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan, sebuah deklarasi kemerdekaan dan pernyataan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dasar negara. Selanjutnya juga menyatakan bahwa kemerdekaan nasional Indonesia didirikan ke dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia dengan kekuasaan berada di tangan rakyat. Negara miliki dasar falsafah hidup sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dibimbing oleh falsafah fundamental tersebut, tujuan dasar negara adalah mewujudkan sebuah pemerintahan Indonesia yang melindungi seluruh rakyat dan bumi pertiwi Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan kehidupan intelektualitas negara dan berkontribusi mewujudkan sebuah tata dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, kedamaian dan keadilan sosial.
Amandemen UUD 1945
Sejak era reformasi, UUD 1945 mengalami beberapa amandemen, tambahan dan penyempurnaan sebanyak empat kali pada sidang tahunan MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Amandemen berdasarkan meliputi sekian tema yang di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Kekuasaan
    Konstitusi UUD 1945 sejak awal menganut sebuah ideologi yang menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan didelegasikan secara mutlak oleh Majelis Pertimbangan Rakyat. Hal ini menganut sebuah ideologi kekuasaan MPR, menjadikan MPR menjadi sebuah institusi negara yang memiliki kewenangan tidak terbatas karena MPR menjadi sebuah Institusi yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kebesaran dan kekuasaan tanpa batas ini menyebabkan MPR menjadi tidak bisa dikontrol oleh Institusi negara manapun. Hal ini menyebabkan MPR menjadi sebuah organ terhebat institusi kenegaraan yang dalam tatanan institusi kenegaraan pemerintahan republik indonesia dan diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. Menyikapi era perubahan, pandangan-pandangan UUD 1945 yang asli tidak lagi cocok terhadap ideologi demokrasi yang membutuhkan implementasi sistem kontrol dan keseimbangan di antara institusi internal negara. Untuk itu, keputusan pasal 2 ayat 1 diubah menjadi kekuasaan di tangan rakyat dan didelegasikan menurut konstitusi.
  2. Struktur dan kewenangan anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat
    Sebelum amandemen, struktur keanggotaan MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk utusan Militer dan Polisi Indonesia, Utusan Daerah (UD), dan Utusan Golongan (UG). Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum, sementara UD dan UG adalah hasil undangan. Undangan terhadap seluruh anggota MPR dirasakan tidak sesuai dengan pembelajaran dan semangat demokrasi, oleh sebab itu formulasinya dirubah dengan penyesuaian bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan amandemen ini, struktur keanggotaan MPR meliputi anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah, sebuah institusi perwakilan baru dalam tatanan kenegaraan republik indonesia
  3. Kewenangan Presiden UUD 1945 menganut prinsip pemerintahan presidentil. Baik dalam hal teori maupun praktek ketatanegaraan dalam pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan presidentil menurut konstitsui tersebut, presiden memiliki kekuasaan dan peran yang besar dan penting. Itulah yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, sangat logis bila cukup banyak artikel yang terkait terhadap otoritas kepresidenan dalam UUD 1945, yang tersebar dalam berbagai macam pasal dan ayat, terutama yang berkaitan terhadap keuasaan mulai dari mengumumkan perang hingga mengabulkan permohonan maaf.
4.       Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat Sejak berdirinya Republik Indonesia, pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan oleh MPR dengan sebuah mekanisme perwakilan tidak langsung. Sehubungan dengan semangat demokrasi yang menyaratkan bawah rakyat diberikan hak untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, sehingga sistem pemilihan oleh MPR hari diganti menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat.Jika kondisi pada putaran pertama pemilu tidak terpenuhi, putaran kedua dilaksanakan dengan mencalonkan pasangan dengan suara terbanyak nomor urut satu dan nomor dua pada putaran pertama. Pasangan yang mendapatkan suara terbanyak akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
5.       Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Sebelum diamandemen, formulasi masa jabatan presiden dan wakil presiden di dalam UUD 45 tidak secara tegas atai kongkrit mengatur freukuensi masa jabatan. Konsekuensinya, hal ini membuka kesempatan untuk berbagai macam interpretasi. UUD 1945 yang diamandemen mengatur bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa berikutnya. Hal ini mengartikan bahwa warga negara Indonesia hanya dapat dipiluh sebagai presiden dan wakil presiden untuk 10 tahun masa jabatan.
  1. Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan Selama ini tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari jabatan mereka. UUD hanya menetapkan sebuah pasal terhadap pertanggungjawaban presiden sebelum sidang luar biasa MPR yang didasari dengan undangan dari DPR. Hal ini dijalankan bila DPR merasa presiden benar-benar melakukan pelanggaran terhadap garis besar haluan negara.
    Saat ini UUD 1945 yang telah diamandemen memuat faktor-faktor dan prosedur-prosedur resmi yang menyebabkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari jabatannya.
  2. Pengantian Presiden di tengah masa jabatan oleh Wakil Presiden Menurut UUD 1945, posisi wakil presiden adalah untuk membantu presiden menjalankan tugasnya. Posisi tersebut menjadikan wakil presiden secara otomatis menggantikan presiden hingga akhir masa jabatannya bila presiden meninggal, mengundurkan diri, atau tidak mampu menjalankan tugasnya selama masa jabatannya.
8.       Pelaksana tugas kepresidenan Meskipun tidak mungkin, terdapat juga kemungkinan lain pada kondisi darurat yang disebabkan oleh, misalnya, presiden dan wakil presiden meninggal secara bersamaan, mengundurkan diri, dan diturunkan atau tidak mampu menjalankan kewajibannya selama masa jabatannya. Dalam konsisi ini, pengambil kebijakan yang memiliki legal formal yang kokoh amat dibutuhkan.Mengantisipasi kasus-kasus seperti ini UUD 1945 yang telah diamandemen, menetapkan bahwa dalam kondisi demikian maka pelaksana tugas-tugas kepresidenan terdiri dari tiga anggota kabinet yaitu: Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan.
9.       Pembentukan Dewan Penasihat Presiden dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung Keberadaan DPA sebagai sebuah lembaga negara, dahulu adalah setara dengan presiden dan memiliki tugas memberikan masukan dan pertimbangan ke presiden yang pada akhirnya dinilai kurang effektiv dan effisien. Hal tersebut karena masukan dan pertimbangan yang diberikan ke presiden bersifat tidak mengikat.Berdasarkan pertimbangan tersebut, UUD 1945 yang diamandemen menghapus keberadaan DPA. Menggantikan hal tersebut konstitusi yang baru memberikan wewenang ke presiden untuk membentuk dewan penasihat yang memiliki tugas memberikan masukan dan pertimbangna ke presiden.
  1. Menteri negara Sebagai konstitusi yang menganut ideologi sistem pemerintahan presidentil, UUD 1945 yang diamandemen menegaskan bahwa menteri-menteri negara, yang dipilih dan ditugaskan oleh presiden, adalah pembantu presiden.
  2. Pemerintahan daerah Daerah diberikan kebebasan dan wewenang untuk memanfaatkan dan mengatur sumber daya alam yang dimiliki, dengan produk perundang-undangan yang dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Otonomi daerah dijalankan dan terwujud di bawah negara kesatuan Republik Indonesia.Konstitusi baru yang telah diamandemen juga mengatur pengakuan negara serta penghormatan terhadap unit administrasi daerah, yang memiliki status khusus dan istimewa.
  1. Dewan Perwakilan Daerah UUD 1945 yang diamandemen memperkenalkan sebuah institusi perwakilan baru dalam struktur pemerintahan Indonesia. Institusi tersebut adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti tertuang dalam pasal VII A bertajuk DPD.
Bendera Nasional
Bendera nasional Indonesia adalah “Sang Saka Merah Putih”. Bendera itu terdiri dari dua warna, merah di atas warna putih. Dimana lebarnya adalah dua pertiga dari panjangnya, atau dua meter dan tiga meter. Dikibarkan di depan istana kepresidenan, gedung-gedung pemerintahan dan kantor perwakilan Indonesia dan di luar negeri. Bendera pertama berkibar gagah pertama kalinya di tengah-tengah penjajahan Jepang pada upaca hari kemerdekaan di depan istana kepresidenan di ibukota Jakarta. Bendera bersejarah ini, atau “bendera pusaka”, dikibarkan terakhir kalinya pada 17 Agustus 1968. Sejak itu bendera tersebut disimpan dan digantikan oleh sebuah replika yang dirajut dari sutera asli Indonesia.
Lambang Negara
Lambang negara Indonesia adalah sebuah elang emas, disebut juga dengan “garuda” yang merupakan sebuah figur epik Indonesia kuno. Lambang ini juga digambarkan dalam banyak candi-candi dari abad ke 6. Elang adalah sebuah simbol energi yang kreativ. Warna dasarnya adalah emas, mewatakkan kehebatan sebuah bangsa. Warna hitam mewakili alam. Terdapat 17 helai pada setiap sayapnya, 8 helai pada ekor dan 45 pada bulu leher. Hal ini menujukkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia: 17 Agustus 1945. Semboyan, “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi satu jua), ini tertulis pada pita yang digenggam oleh cakar garuda.
Lagu Kebangsaan
Lagu kebangsaan Indonesia adalah “Indonesia Raya”. Lagu ini dikarang pada tahun 1928. Kelahiran Indonesia Raya menandai permulaan gerakan nasionalis Indonesia. Lagu ini diperkenalkan pertama kalinya oleh sang pengarang, Wage Rudolf Supratman, pada Kongres Pemuda Indonesia kedua pada 28 oktober 1928 di Batavia, sekarang Jakarta  esei Perubahan Konstitusi dan Demokrasi Bambang Widjajanto Setengah abad lalu, ketika banyak bangsa melepaskan diri dari penjajahan, konstitusi dimaknai sebagai hukum dasar yang memberikan dasar identitas dan legitimasi baru bagi sang penguasa baru. Satu-dua dekade belakangan ini, konstitusi --bagi negara yang baru menumbangkan rezim diktator dari bangsanya sendiri-- dimaknai sebagai era baru menuju sistem kekuasaan yang demokratis. Tapi nampaknya, jalan yang tengah diretas Indonesia melalui perubahan konstitusi justru mengarah pada pembentukan supremasi legislatif yang jelas berbeda dengan pembentukan sistem kekuasaan demokratis.
Secara umum, jika bicara soal Konstitusi bisa jadi memang tak menarik. Dalam konteks Indonesia, lihat saja dari berita-berita di berbagai media ; perbincangan konstitusi hanya menjadi ecek-ecek berita. Memang bagi sebagian kalangan political scientist, konstitusi 'agak diabaikan' keberadaannya. Dasar logikanya sangat menuruti akal sehat, yaitu konstitusi hanya memuat kumpulan teks, sementara permainan politik acapkali tidak didasarkan atas aturan di dalam konstitusi, sebab konstitusi kerapkali tak diperlukan dalam perebutankekuasaan. Contoh paling kongkrit bisa dilihat dalam kasus di Filipina dan Indonesia. Diktator Marcos dan Suharto ditumbangkan bukan karena aturan yang tersebut didalam konstitusi.
Bahkan bagi sebagian kalangan hukum, konstitusi hanya dimaknai sebagai ketentuan normatif yang mengatur relasi antara suatu institusi dan warga negara di dalam suatu pemerintahan. Hingga tak begitu berarti bagi kepentingan langsung persoalan penegakan hukum sehari-hari; juga tak begitu perlu untuk diperdebatkan apakah penegakan hukum itu akan berkaitan erat dengan format dan struktur kekuasaan yang seharusnya diatur di dalam konstitusi. Berpijak dari faktor ini, maka bisa jadi bicara konstitusi seolah bicara soal fiksi, karena tak langsung menyentuh persolan sehari-hari. Atau mungkin malah bicara sesuatu yang kurang berarti.
Fakta diatas mungkin ada benarnya, apalagi jika diletakkan dalam konteks transisi Indonesia. Lihat saja, pemberitaan perseteruan Gus Dur dan beberapa kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberitaan cenderung meliput pertikaian politiknya saja, dan perseteruan itu dianggap tak berkaitan dengan problem format kekuasaan, dimana konstitusi yang ada memang tak mengatur bagaimana mengelola konflik seperti itu. Sehingga solusi yang ditawarkan hanya berkisar pada kompromi politik saja, ketimbang mendesain suatu sistem kekuasaan yang bisa mengelola konflik antar lembaga kekuasaan. Disatu sisi, dinamika intensif antar lembaga negara memang penting, namun alau itu tak berarti terus terjadi konflik yang berkepanjangan dan tak terselesaikan Itu sebabnya tak ada diskursus yang diperdebatkan secara mendalam untuk menyusun suatu format politik guna mengelola konflik antara institusi negara secara demokratik. Diskursus itulah yang tidak masuk ke dalam perubahan konstitusi yang terjadi di Indonesia. Juga, tak terlihat ada usaha yang komprehensif, agar rakyat mempunyai akses untuk mengontrol otoritas kekuasaan agar tidak berbuat sewenang-wenang. Kesemua soal itu, nampaknya tak begitu penting untuk didesakan di dalam perubahan konstitusi. Akibatnya, perubahan konstitusi menjadi isu yang tak diminati dan dianggap tak berarti bagi masa depan Indonesia.
Padahal, konstitusi boleh jadi merupakan 'power maps' dari format dan struktur politik suatu kekuasaan. Karena disanalah diatur bagaimana suatu kekuasaan bekerja didalam suatu pemerintahan. Dimana, struktur, sistem, karakter serta bekerjanya suatu mekanisme kekuasaan, bisa diformat dan dilacak melalui konstitusi. Bahkan perangkat lunak kekuasaan berupa ideologi atau filsafat suatu negara, seharusnya juga bisa ditemukan melalui konstitusi. Juga, di dalam konstitusilah, pembatasan kekuasaan suatu pemerintahan diatur secara limitatif, selain hubungan antara institusi negara. Dari sini kelak juga bisa dilacak apakah sistem kekuasaan suatu negara mengakomodasi sistem pemerintahan yang bercirikan check and balances sistem.
Secara umum hendak dikatakan bahwa konstitusi seharusnya mengatur dan memuat kerangka organisasional suatu kekuasaan, ketentuan hukum dasar suatu pemerintahan dan aturan-aturan yang menjamin hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Singkatnya, konstitusi menjadi hukum dasar yang mengatur suatu mekanisme kekuasaan bekerja dan kekuasaan itu harus diarahkan bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Pada titik inilah, sistem kekuasaan mungkin bisa disebut sebagai demokratis.
Kalau konstitusi dimaknai seperti hal diatas, maka terlalu riskan dan sangatlah naïf bila perubahan konstitusi di Indonesia hanya diserahkan pada kelompok tertentu yang justru mempunyai vested interest untuk kepentingan kelompoknya saja. Apalagi mereka tidak secara sungguh-sungguh mewakili kepentingan seluruh rakyat karena sistem pemilihan anggota Dewan --yang sebagian besarnya menjadi anggota Majelis dan secara normatif punya kewenangan merubah konstitusi-- tidak dipilih langsung oleh rakyat sang pemilik kedaulatan sejati.
Ada kemungkinan, kendati harus dibuktikan, beberapa kalangan Dewan secara sengaja memonopoli proses perubahan konstitusi. Argumen normatif yang selalu diajukan adalah Pasal 3 Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, dimana perundangan itu secara tegas menyatakan bahwa perubahan konstitusi dilakukan oleh MPR. Dalam perspektif positif, motif dibalik tindakan monopoli adalah mengembalikan proporsi atas fungsi dan kewenangan parlemen di dalam format dan sistem pemerintahan. Karena hampir lebih dari tiga dekade, Dewan hanya menjadi instrumen politik bagi kepentingan eksekutif saja. Dalam perspektif lain, ada indikasi kuat kini terjadi suatu proses yang disebut sebagai supremasi legislatif. Proses seperti ini, mungkin saja secara potensi sama tidak baiknya dengan eksekutif heavy yang pernah terjadi selama tiga decade lalu.
Untuk membuktikan sinyalemen ini, beberapa indikasi bisa dilihat dari proses Perubahan Pertama Konstitusi tahun 1999. Dari 9 pasal perubahan, 6 pasal perubahan berkaitan dengan peran dan kewenangan DPR dan MPR. Keseluruhan proses perubahan itu mengeliminasi berbagai kewenangan presiden disatu sisi, namun memperluas kewenangan dewan disisi lainnya. Cilakanya lagi, perubahan ini tidak berpretensi menciptakan check and balances sistem diantara lembaga tinggi negara. Begitupun di dalam Perubahan Kedua Konstitusi, ada sekitar empat tema perubahan, yaitu : soal hak asasi, otonomi pemerintahan daerah, pertahanan dan keamanan negara serta soal wilayah, lambang negara dan warga negara.
Dalam perubahan ini, ada sekitar 5 pasal yang kian mengukuhkan berbagai kewenangan dari Dewan. Sebut saja misalnya, dewan akan mempunyai berbagai hak lain yang akan diatur oleh Undang-undang selain yang telah disebutkan secara limitative dalam konstitusi seperti: hak interplasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, selain mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Sementara, pemberhentian anggota Dewan akan diatur dalam undang-undang (yang tak jelas kapan akan dibuat).
Melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, hak untuk melakukan Judicial Review atas ketentuan perundangan yang lazimnya dimiliki oleh lembaga judikatif diambil alih oleh MPR. Pasal 5 Ketetapan diatas menyatakan bahwa MPR lah yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD dan Ketetapan MPR, sedangkan MA hanyalah menguji peratauran dibawah Undang-undang.
Berbagai fakta diatas menunjukan bahwa parlemen dengan segala kewenangan yang melekat pada dirinya, tengah mengarahkan proses rekonstruksi politik melalui perubahan konstitusi menuju supremasi legislatif, dengan mengabaikan pembentukan sistem kekuasaan yang mengarah pada check and balance sistem. Itu sebabnya, dalam dua perubahan konstitusi yang telah dilakukan, tidak ada satupun mekanisme yang bisa mengontrol kewenangan anggota dewan; dan itu artinya rakyat tak memiliki akses untuk mengontrol penyalahgunaan kewenangan yang kelak dilakukan anggota dewan dan majelis.
Kalau fakta-fakta diatas bisa digunakan untuk memperkuat sinyalemen bahwa memang kini terjadi suatu tendensi yang mengarah pada supremasi legislatif, maka jelas kalangan Dewan dan Majelis akan mengeliminasi segala kepentingan yang berusaha untuk mempersoalkan kewenangannya di dalam melakukan perubahan atas konstitusi. Karena dengan begitu, parlemen akan bisa mengontrol proses perubahan sesuai dengan kepentingannya sendiri. Jadi, dengan begitu, parlemen secara sadar akan menolak segala usaha yang menginginkan proses perubahan konstitusi tidak ditangani oleh mereka. Padahal, perubahan konstitusi yang dilakukan di Thailand dan Philipina, justru dilakukan oleh bukan kalangan parlemen. Partisipasi publik didorong untuk merancang dan mengambil keputusan di dalam perubahan konstitusi.
Sedangkan hal lain yang berkenaan dengan apakah supremasi legislatif itu bertentangan dengan sistem kekuasaan yang demokratis tentu harus dielaborasi lebih jauh lagi. Tapi yang pasti, dua perubahan konstitusi yang telah dilakukan dan tendensi yang mengarah pada supremasi legislatif tu telah mengabaikan pembentukan sistem kekuasaan yang bercirikan check and balances. Padahal, sistem ini menjadi salah satu ciri dalam pembentukan sistem kekuasaan yang demokratis. Kalau begitu ada indikasi kuat MPR --melalui Badan Pekerja MPR, kususnya Panitia Ad Hoc II-- telah gagal mengemban amanat untuk melakukan perubahan konstitusi guna menciptakan sistem dan format kekuasaan yang demokratis. Kalau begitu, kita semestinya tahu apa yang harus dilakukan! rbedaan Negara Dan Pemerintahan By : M. dasar Karimuddin Negara dan pemerintahan merupakan dua istilah yang hampir sama, akan tetapi jauh berbeda. Beberapa pemikir barat memahami istilah tersebut cenderung sama, dimana raja- raja dan para dictator juga menyamakan Negara dan pemerintahan. Raja francis Louis XIV mengatakan: Aku adalah Negara. Dilain pihak Adolph Hitler berseru” aku adalah german. Sedangkan pelajar ilmu politik sangat sensitive dalam memahami makna keduanya. Negara merupakan segala oknum masyarakat, sedangkan pemerintahan merupakan kumpulan orang yang berjumlah kecil. Perbedaan Negara dan pemerintahan:
1.    Negara adalah seluruh komunitas secara tetap mendiami wilayah tertentu dan berhak untuk berdaulat dalam urusan internal maupun eksternal. Sedangkan pemerintahan merupakan bagian dari Negara, bisa diartikan pemerintahan adalah mesin untuk mencapai tujuan Negara.
2. Negara merupakan persatuan yang kekal, dimana pemerintahan bersifat sementara. Bagaimanapun persatuan komunitas dalam Negara tidak bisa di taklukkan oleh siapa pun, walaupun Negara tersebut telah terjajah. Sedangkan pemerintahan bisa berubah sewaktu- waktu dalam persatuannya, layak lahirnya partai- partai baru maka berubahlah pemerintahan tersebut.
3.    Negara adalah kedaulatan, kedaulatan adalah sifat dasar yang diperlukan untuk mendirikan Negara. Sedangkan kedaulatan bukanlah atribut pemerintahan, jelasnya kedaulatan bukan miliknya pemerintahan. Kita akui pemerintahan memiliki kekuasaan atas Negara, tetapi perlu diingat kekuasaan tersebut diberikan oleh Negara dan terbatas pula masanya. 
4. Karakter- karakter Negara diseluruh dunia adalah sama. Dimana komunitas menempati suatu wilayah secara tetap, memiliki pemerintahan dan memperoleh kedaulatan Negara. Sedangkan pemerintahan memiliki karakter yang berbeda, misalnya, sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan dictator, sistem pemerintahan kepresidenan jauh berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer.
5. Belum pernah kita mendengar atau melihat demontrasi rakyat terhadap
Kedaulatan Negara mereka, jika pun ada itupun memperjuangkan kedaulatan dari penjajahan. Sedangkan aksi perlawanan yang sering diluncurkan oleh rakyat bertemakan melawan pemerintahan, dan ini sering dan sangat akrab musimnya dewasa ini.
Walaupun perbedaan Negara dan pemerintahan terlihat jelas, tetapi Negara dan pemerintahan tidak berjalan tampa dukungan satu sama lain. Secara logis saya artikan Negara adalah sang Adam dimana pemerintahan sebagai Hawanya.
1.   Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1977.
2.   Rederick Martin, Sosiologi Kekuasaan, Rajawali Pers, 1993.
3.   Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, 1986.
4.   Soejono Soekamto, Memperkenalkan Sosiologi, Rajawali 1986.
1.       Soedjono Dirdjosisworo, Asas-asas Sosiologi, armoco, 1986.
2.       Tom Bottomore, Sosiologi Politik, rineka Cipta, 1992.
3.       Cheppy Hari Cahyono, Ilmu Politik, Tiara Wacana, 1991.
Cidadaun

Pancasila dan Keberlanjutan NKRI
Oleh Siswono Yudo Husodo
NEGARA kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras.
Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.
Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas upaya besar founding fathers, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara memantapkan rasa kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat kita yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia.
Itulah sebabnya, meski UUD 1945 telah diamandemen empat kali, bagian pembukaan ini tetap tidak berubah, karena jika berubah berarti membentuk negara baru, bukan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Paradigma fungsi
Sosiolog Talcott Parsons dalam buku Social System menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada empat paradigma fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan. Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya yang dianut karena budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya.
Pudarnya ideologi Pancasila
Sebuah negara bangsa membutuhkan Weltanschauung atau landasan filosofis. Atas dasar Weltanschauung itu, disusunlah visi, misi, dan tujuan negara. Tanpa itu, negara bergerak seperti layangan putus, tanpa pedoman.
Dalam perspektif negara bangsa, empat function paradigm Parson yang harus terus dilaksanakan masyarakat Indonesia agar dapat hidup dan berkembang, kerangka sistemiknya termanifestasikan (terkristalisasi) dalam Pancasila yang merupakan Weltanschauung bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini, terasa pamor Pancasila sedang menurun. Pancasila juga dapat dipandang sebagai ideologi negara kebangsaan Indonesia. Mustafa Rejai dalam buku Political Ideologies menyatakan, ideologi itu tidak pernah mati, yang terjadi adalah emergence (kemunculan), decline (kemunduran), dan resurgence of ideologies (kebangkitan kembali suatu ideologi). Tampaknya, sejak awal reformasi hingga saat ini sedang terjadi declining (kemunduran) pamor ideologi Pancasila seiring meningkatnya liberalisasi dan demokratisasi dunia.
Sosialisasi Pancasila di masa lalu, di mana yang mengikuti penataran memperoleh sertifikat dan menjadi persyaratan dalam promosi jabatan, telah menjadikan Pancasila hafalan, dan tidak mewujud secara substansial pada perikehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Membangkitkan kembali ideologi Pancasila
Dalam buku The Meaning of The 20th Century, Kenneth E Boulding menyatakan, "Kebenaran yang diakui benar oleh semua orang bukan ideologi yang patut diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh sebagian orang adalah ideologi yang patut diperjuangkan".
Agar Pancasila sebagai ideologi bangsa tetap mempunyai semangat untuk diperjuangkan, kita perlu menerima kenyataan belum diterimanya Pancasila oleh semua pihak. Dunia juga tampak belum yakin pada kelangsungan dan kemajuan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami oleh dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera dan modern.
Sebagai ideologi nasional, ia harus diperjuangkan untuk diterima kebenarannya melewati batas-batas negara bangsa kita sendiri. Tentu bentuk perjuangan ideologi pada waktu ini berbeda dengan zaman berbenturannya nasionalisme dengan imperialisme, sosialisme dengan kapitalisme, dan antara demokrasi dengan totaliterianisme. Keberhasilan Pancasila sebagai suatu ideologi akan diukur dari terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia.
Ke depan, bangsa kita perlu berani menjadi seperti bangsa Amerika Serikat yang ingin menyebarkan ideologi demokrasi ke seluruh penjuru dunia.
Dalam pidato pelantikan untuk masa jabatan kedua (2005-2009) pada 20 Januari 2005 lalu, Presiden George Walker Bush mengatakan, kebijakan bangsa Amerika adalah terus mencari dan mendukung pertumbuhan gerakan dan institusi demokrasi di segala bangsa dan budaya, dengan tujuan utama mengakhiri tirani dunia.
Bangsa AS mampu melakukan itu hari ini karena ideologi nasionalnya, demokrasi yang berintikan liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan egality (kesetaraan), telah berhasil menempatkan AS sebagai negara bangsa terkemuka di dunia. Keberhasilan AS di berbagai bidang kehidupan bukan saja telah melegitimasikan posisinya sebagai negara yang dirujuk dan dihormati, tetapi juga menempatkannya sebagai sumber inspirasi serta teladan banyak bangsa.
Hanya dengan mencapai kondisi bangsa yang maju, sejahtera, dan bersatu sajalah Indonesia dapat menjadi salah satu rujukan dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi untuk diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Saya berpendapat, kondisi itu adalah hal yang mungkin terjadi yang perlu diwujudkan; menjadi mission sacre kita sebagai suatu bangsa.
Tugas kaum terpelajarlah untuk mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju dengan mewarnai Pancasila yang memiliki rumusan tajam di segala bidang untuk menjawab tantangan yang sedang dihadapi bangsa dan negara kita. Konsepsi dan praktik kehidupan yang Pancasilais terutama harus diwujudkan dalam keseharian kaum elite, para pemimpin, para penguasa, para pengusaha, dan kaum terpelajar Indonesia untuk menjadi pelajaran masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA
Modul 1
PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
1.    Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Liberty
2.    Bertens (1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
3.    Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Indonesia.
4.    Jacob (1999). Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan IPTEK.Yogyakarta: Interskip dosen-dosen Pancasila se Indonesia
5.    Kaelan (1986). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
6.    Kaelan (1996). Filsafat Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
7.    Kaelan (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
8.    Kaelan (1999). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
9.    Kattsoff, Louis O. (1986). Element of Philosophy (Terjemahan Soejono Soemargono: Filsafat). Yogyakarta: Tiara Wancana
10.   Liang Gie, The (1998). Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB
11.   Notonegoro (1975). Pancasila Secara Utuh Populer. Jakarta: Pancoran Tujuh
12.   Pangeran, Alhaj (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika
13.   Soemargono, Soejono (1986). Filsafat Umum Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya
14.   Soeprapto, Sri (1997). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LP-3-UGM
15.   Sutardjo (1999). Dasar Esensial Calon Sarjana Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka
16.   Syafitri, Muarif Achmad (1985). Islam dan Masalah Kengeraan. Penerbit
17.   Wibisono, Koento (1999). Refleksi Kritis Terhadap Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni 1999. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM
18.   Yamin, Muhammad). Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.Jakarta: Prapanca
19.   Zubair A., Charris (1995). Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
1.    A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
2.    A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
3.    Alhaj dan Patria, 1998. BMP. Pendidikan Pancasila. Penerbit Karunika, Jakarta 4 – 5.
4.    Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.
5.    Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang.
6.    Harun Nasution, 1983. Filsafat Agama, NV Bulan Bintang. Jakarta.
7.    Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
8.    Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
9.    Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia,Jakarta.
10.   Notonagoro, 1957, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila Cet. 2, Pantjoran tujuhJakarta.
11.   Soenoto, 1984, Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya, PT. Hanindita, Yogyakarta.
Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
1.    Heuken, 1988, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, edisi 6, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.
2.    Kaelan, 1996, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
3.    Koentjaraningrat, 1980, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
4.    Manuel Kasiepo, 1982, Dari kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi, dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Dalam Jurnal Ilmu Politik, AIPI-LIPI, PT. Gramedia, Jakarta.
5.    Notonagoro, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9, Pantjoran tujuh, Jakarta.
6.    Soeprapto, 1997, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, LP.3 UGM, Jogjakarta.
7.    Suhadi, 1995, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah Fakultas Filasafat, UGM. Jogjakarta.
8.    Suhadi, 1998, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah, Jogjakarta.
Modul 4
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
1.    Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
2.    Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
1.    Hadi Sitia Unggul, SH, 2001, Ketetapan MPR 2001, 2000 dan perubahan I dan II UUD 1945, Harvarindo, Jakarta.
2.    Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung.
3.    Moh. Mahfud, 1998, Pancasila Sebagai Paradigma Pembaharuan Tatanan Hukum, dalam Jurnal Pancasila no. 32 Tahun II, Desember 1998, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
4.    Notonagoro, 1971, Pancasila Secara ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
5.    Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary of Current English*, 1980
6.    Pranarka, A.M.W., 1985, SejarahPemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
7.    Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi di Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
8.    Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Keformasi Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
Modul 6
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL Pustaka Primer
1.    Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen Tahap Pertama
2.    Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Istimewa tahun 1998
3.    Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Umum tahun 1998

Pustaka Sekunder
1.    Nopirin, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pancoran Tujuh, Jakarta, Cet 9.
2.    Nopirin,1999, Nilai-nilai Pancasila sebagi Strategi Pengembangan Ekonomi Indonesia, Internship Dosen-Desen Pancasila Se-Indonesia, Yogyakarta.
3.    Pranarka, A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
4.    Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi di Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
5.    Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Reformasi Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
6.    Syaidus Syakar, 1975, Pancasila pohon Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia, Alumni, Bandung.

Penulis : sibuyuang jolong baimbau ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH ini dipublish oleh sibuyuang jolong baimbau pada hari Rabu, 05 Oktober 2016. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
 

0 komentar:

Posting Komentar