PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
Modul 1
LANDASAN PERKULIAN
DAN PENGERTIAN PANCASILA
Seluruh
warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai
Pancasila yang dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah.
Tingkatan pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal,
pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab
pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan
kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai
sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis
(asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa
efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan
pengetahuan normatif merupakan hasil dari pertanyaan ilmiah kemana. Adapun
pengetahuan esensial mengajukan pemecahan terhadap pertanyaan apa, (apa
sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena diharapkan dapat mengetahui
hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila adalah untuk mendapatkan
pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam dalam sila-sila Pancasila
atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya. Pelajaran atau perkuliahan
pada perguruan tinggi, oleh karena itu, tentulah tidak sama dengan pelajaran
Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah. Tanggung jawab yang lebih besar
untuk mempelajari dan mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan
kebebasan yang dimilikinya.
Tujuan
pendidikan Pancasila adalah membentuk watak bangsa yang kukuh, juga untuk
memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar mahasiswa memahami,
menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari
sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang
beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
PANCASILA SEBAGAI
PENGETAHUAN ILMIAHR
Pengetahuan
dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode,
bersistem, dan bersifat universal. Berobjek terbagi dua yakni objek material
dan objek formal. Objek material berarti memiliki sasaran yang dikaji, disebut
juga pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan
bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek formal adalah titik perhatian tertentu
(focus of interest, point of view) merupakan titik pusat perhatian pada
segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Bermetode atau
mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan
aturan-aturan yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu.
Bersistem atau bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan
yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang saling berhubungan dan
tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan. Bersifat
universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa penelusuran
kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju
atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Pancasila memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah
sehingga dapat dipelajari secara ilmiah.
Di
samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan ilmiah. Pancasila juga
memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar sila yang organis, susunan
hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila
dapat juga diletakkan sebagai objek studi ilmiah, yakni pendekatan yang
dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan pengamalan Pancasila yakni suatu
penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan
dengan segala uraian yang selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis
kepada bahan-bahan tersebut. Sifat dari studi ilmiah haruslah praktis dalam
arti bahwa segala yang diuraikan memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh
pendekatan ilmiah terhadap Pancasila antara lain: pendekatan historis,
pendekatan yuridis konstitutional, dan pendekatan filosofis.
Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
TEORI ASAL MULA
PANCASILA
Asal mula Pancasila dasar
filsafat Negara dibedakan:
1.
Causa
materialis (asal mula bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
2.
Causa
formalis (asal mula bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu
dibentuk rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
3.
Causa
efisien (asal mula karya) ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari
calon dasar negara menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula
karya dalam hal ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian
mengesahkan dan menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah
melalui pembahasan dalam sidang-sidangnya.
4.
Causa
finalis (asal mula tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan
Pancasila yakni hendak dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada
kausan finalis tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur
Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila
baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945,
namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur
Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah
bangsaIndonesia memberikan bukti yang dapat
kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan,
agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
1.
Di
Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan,
bukti-buktinya: bangunan peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari
besar agama, pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan
sejarah/dongeng yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan kepercayaan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Bangsa
Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama
manusia, bukti-buktinya misalnya bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan
aja dumeh, aja adigang adigung adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja
sawiyah-wiyah, dan sebagainya, tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang,
Batu Pegat, Anting Malela, Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat
dangkalan Metsyaha, membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan
sebagainya, hubungan luar negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan
kemanusiaan; semua meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Bangsa
Indonesia juga memiliki ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan,
sebagai bukti-buktinya bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
sebagainya, tulisan sejarah tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha
dan Jenggala, Negara nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan
bersatu teguh bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu
laksana sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong
royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah, pembangunan
rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan adanya sifat persatuan.
4.
Unsur-unsur
demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai Agung
dan Dewan Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau
dengan syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para
Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan sebagainya,
perbuatan musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan sifat demokratis
Indonesia;
5.
Dalam
hal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil
terhadap sesama, bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah
desa, sumur bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah
Raja Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan sebagainya,
penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila
sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang
digali dari bangsa Indonesia. Disebut sebagai
kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam Pancasila
merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan yang
lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan
diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
ASAL MULA PANCASILA
SECARA FORMAL
BPUPKI
terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini
memungkinkan bangsaIndonesia dapat mempersiapkan Kemerdekaan
nya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi
sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei
1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa). Badan
penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10 Juli sampai dengan 17 Juli
1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno mengusulkan tentang dasar
negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara integralistik.
Tindak
lanjut untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia
sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan
mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang
kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil
kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam
anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil
panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut dengan pi`gam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan
dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar
diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela
Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia
ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia
perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil Perancang Hukum
Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal
11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya Panitia Persiapan
Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering disebut Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945
berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun
Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI
mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta
sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945
menerima seluruh Rancangan
Hukum
Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta
sebagai mukaddimah.
Hari
terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, merupakan sidang penutupan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan selesailah tugas badan
tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
1.
Piagam
Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14
Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.
2.
Rancangan
Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah
mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia.
3.
Memilih
Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh.
Hatta.
4.
Menetapkan
berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah
Darurat.
Sidang
kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat pembagian daerah propinsi, termasuk
pembentukan 12 departemen atau kementerian. Sidang ketiga tanggal 20,
membicarakan agenda badan penolong keluarga korban perang, satu di antaranya
adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 22 Agustus 1945
diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan pembentukan Komite
Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang keempat ini, maka
PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi bagian Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan pimpinan-pimpinan
rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila
secara historis terbagi dalam tiga kelompok.
1.
Rumusan
Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap pengusulan
sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2.
Rumusan
Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesiasebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya
dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3.
Beberapa
rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas
secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
1.
Rumusan
dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato “Asas
dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
2.
Rumusan
dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis
yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
3.
Soekarno,
tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan
istilah Pancasila (Rumusan III).
4.
Piagam
Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan
yang pertama (Rumusan IV).
5.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang
diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
6.
Mukaddimah
KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950
(Rumusan VI).
Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN
PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI
DASAR NEGARA
Dasar
negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada
suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai
dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni
pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah
yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan
negara Republik Indonesia.
Pancasila
sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk
mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila
sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu
kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara
(Suhadi, 1998). Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di
dalam empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya
sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945. Barulah dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan
lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya
ketetapan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
PANCASILA SEBAGAI
PANDANGAN HIDUP
Setiap
manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu
wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian
nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur
hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini
suatu masyarakat maka akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah
pandangan hidup bangsa. Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya
mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap
bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan
acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian juga dengan bangsa Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang
diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung
di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut
sebagai cita-cita moral bangsaIndonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian
memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi
bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur
bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama
bangsaIndonesia yang pada waktu itu diwakili
oleh PPKI. Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh
masyarakat Indonesia maka
Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
Modul 4
PANCASILA DAN
PEMBUKAAN UUD’45
HUBUNGAN PANCASILA
DAN PEMBUKAAN UUD’45
Hubungan
Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan
UUD’45; bahwa Pembukaan UUD’45 berkedudukan dan berfungsi selain sebagai
Mukadimah UUD’45 juga sebagai suatu yang bereksistensi sendiri karena Pembukaan
UUD’45 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD’45, bahkan
sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD’45 dengan
demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak dapat diubah dan terlekat
pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan
Secara Material antara Pancasila dan PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan
Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar filsafat Pancasila, baru kemudian
membahas Pembukaan UUD’45; sidang berikutnya tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama
Pembukaan UUD’45.
KEDUDUKAN HAKIKI
PEMBUKAAN UUD’45
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat pada proklamasi 17 Agustus
1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal maupun material. Adapun
kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pertama; Pembukaaan
Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan
yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan padat 17 Agustus
1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kedudukan
hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kedua adalah bahwa Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan
tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral rakyat Indonesia yang luhur (Suhadi, 1998). Kedudukan hakiki Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu tujuan negara,
bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang pembentukan UUD.
Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
PEMIKIRAN DAN
PELAKSANAAN PANCASILA
Berbagai
bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan pelaksana-an Pancasila terjadi
karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip
itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip ditinjau dari segi intrinsik (ke
dalam) dan prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi
intrinsik harus konsisten, koheren, dan koresponden, sementara dari segi
ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi penyalur dan penyaring kepentingan
horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa yang dapat
digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka (1985)
menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur pemikiran
politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor Notonagoro
(1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif
dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran
Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas
pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2)
masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu
Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran
mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang
sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas
dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan
jalur pemikiran akademis.
Jalur
pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar
Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan
politik. Para penyelenggara negara ini
berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat
perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran
Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan
praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi,
sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan
mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik
kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan
kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis,
yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran
politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau
kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang
kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya
kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai
sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya
kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan
masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran
akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan,
sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas
atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat
terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan
dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan
objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada
setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam
pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa
dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro
pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting,
karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila.
Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur
melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal
di lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa
pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak
dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik
apa pun produk perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para
penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun
sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur
yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan
Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa implikasi wajib hukum,
artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang
tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa
implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari
hati nurani atau masyarakat.
REFORMASI PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi
secara sempit dapat diartikan sebagai menata kembali keadaan yang tidak baik
menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi kadang disalahartikan sebagai suatu
gerakan demonstrasi yang radikal, “semua boleh”, penjarahan atau “pelengseran”
penguasa tertentu. Beberapa catatan penting yang harus diperhatikan agar orang
tidak salah mengartikan reformasi, antara lain sebagai berikut.
1. Reformasi bukan revolusi
2. Reformasi memerlukan proses
3. Reformasi memerlukan perubahan
dan berkelanjutan
4. Reformasi menyangkut masalah
struktural dan kultural
5. Reformasi mensyaratkan adanya
skala prioritas dan agenda
6. Reformasi memerlukan arah
Berbagai
faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi antara lain: Pertama,
akumulasi kekecewaan masyarakat terutama ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi
dan politik; kedua, krisis ekonomi yang tak kunjung selesai; ketiga, bangkitnya
kesadaran demokrasi, keempat, merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik dan
saran perubahan yang tidak diperhatikan.
Gerakan
reformasi menuntut reformasi total, artinya memperbaiki segenap tatanan
kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam
dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan reformasi, agenda yang mendesak
untuk segera direalisasikan antara lain: pertama, mengatasi krisis; kedua,
melaksanakan reformasi, dan ketiga melanjutkan pembangunan. Untuk dapat
menjalankan agenda reformasi tersebut dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini
relevansi Pancasila menarik untuk dibicarakan.
Eksistensi
Pancasila dalam reformasi di tengah berbagai tuntutan dan euforia reformasi
ternyata masih dianggap relevan, dengan pertimbangan, antara lain: pertama,
Pancasila dianggap merupakan satu-satunya aset nasional yang tersisa dan
diharapkan masih dapat menjadi perekat tali persatuan yang hampir koyak.
Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila sebagai pemersatu, hal ini telah
terbukti secara historis dan sosiologis bangsa Indonesia yang sangat plural
baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun agama. Kedua, Secara yuridis,
Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar negara berubah, maka berubahlah
negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi bahwa para pendukung gerakan
reformasi yang tidak menuntut mengamandemen Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik
paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila adalah tidak satunya antara
teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan pelaksanaan. Maka tuntutan
reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu kesatuan antara pemikiran dan
pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik kecenderungan digunakannya Pancasila
sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila
dijadikan mitos dan digunakan untuk menyingkirkan kelompok lain yang tidak
sepaham.
Beberapa
usulan yang masih dapat diperdebatkan namun kiranya penting bagi upaya
mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain: Pertama, mengarahkan pemikiran
Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang lebih konkret. Kedua, mengarahkan
pemikiran dari kecenderungan yang sangat ideologis (untuk legitimasi kekuasaan)
ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran Pancasila dari kecenderungan subjektif
ke objektif, yaitu dengan menggeser pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme
pribadi, kelompok, atau partai, dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik
pluralisme sosial, politik, budaya, dan agama.
Berbagai
bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran politik kenegaraan dan dalam
pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena beberapa hal, di antaranya, antara
lain: Pertama, adanya gap atau ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau
perundang-undangan dengan filosofi, asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan
rumah, filosofi, asas dan norma hukum adalah pondasi, maka undang-undang dasar
dan perundang-undangan lain di bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di
luar pondasi. Kenyataan ini membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi
dan tinggi negara tidak dapat memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk
diadakan amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga
judicial review yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan
prosedural suatu produk hukum.
Kedua,
Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara negara adalah maraknya tindakan
kolusi, korupsi dan nepotisme, serta pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi
kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawan politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi
Pancasila juga mendapat kritik tajam di era reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR
No. XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai
usulan pemikiran tentang sosialisasi Pancasila itu antara lain: menghindari
jargon-jargon yang tidak berakar dari realitas konkret dan hanya menjadi
kata-kata kosong tanpa arti, sebagai contoh slogan tentang “Kesaktian
Pancasila”, slogan bahwa masyarakat Indonesia dari dulu selalu berbhineka
tunggal ika, padahal dalam kenyataan bangsa Indonesia dari dulu juga saling
bertempur, melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan lain-lain.
Menghindari pemaknaan Pancasila sebagai proposisi pasif dan netral, tetapi
lebih diarahkan pada pemaknaan yang lebih operasional, contoh: Pancasila
hendaknya dibaca sebagai kalimat kerja aktif, seperti masyarakat dan negaraIndonesia harus ….. mengesakan Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil
dan beradab, mempersatukan Indonesia, memimpin rakyat
dengan hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses permusyawaratan perwakilan,
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan
juga dalam rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan
membodohkannya sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran P-4, sehingga
sosialisasi lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif.
Modul 6
PANCASILA DAN
PERMASALAHAN AKTUAL
PANCASILA DAN
PERMASALAHAN SARA
Konflik
itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya
antara si kuat dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas
dengan minoritas, dan sebagainya. Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan
misalnya konflik antarumat beragama, antarsuku, atarras, antargolongan dan
sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data
empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang
sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan.
Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi
munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada
prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas,
heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu
yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka
akan gagal.
Berbagai
ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara
eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia“. Kedua, Penjelasan
UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok pikiran
pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang
hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan
yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang
terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui
kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang puncak-puncak
kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya
Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa
daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers
negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa
Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan
lain-lain.
Justru
pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa. Beberapa
prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam
rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan
paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya
dalam satu wadah ke-indonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas
yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum
dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali,
kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang
tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari
nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara
yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi,
kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama,
adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat
PANCASILA DAN
PERMASALAHAN HAM
Hak
asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada
kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya
manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma
yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara
langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk.,
1995: 60).
Masalah
HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama
yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM
merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM
merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi keprihatinan
dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan
pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa
setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia
oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3) Masalah HAM secara khusus
kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor dan penerima
bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan
politis.
Kedua,
HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan
partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat
universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme
memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai
dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan
memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang
HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip moral umum
dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2)
tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak
kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara
tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena
memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan
bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat
ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap
MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih
bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD
1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan
beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak
atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan
penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD
1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit menyebut
Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga negara. Kedua,
Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi
RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk
Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah
HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia
serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada
bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia,
terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman
hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam
Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri dari 10
bab 44 pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini
diatur secara eksplisit antara lain:
1.
Hak
untuk hidup
2.
Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3.
Hak
mengembangkan diri
4.
Hak
keadilan
5.
Hak
kemerdekaan
6.
Hak
atas kebebasan informasi
7.
Hak
keamanan
8.
Hak
kesejahteraan
9.
Kewajiban
menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan
penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini merupakan upaya
penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945 dengan
mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa
PANCASILA DAN KRISIS
EKONOMI
Pertumbuhan
ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba ternyata tidak berkelanjutan karena
terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi yang besar, baik antargolongan, antara
daerah, dan antara sektor akhirnya melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula
berawal dari perubahan kurs dolar yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke
krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan pada segenap sektor tidak hanya
ekonomi.
Kegagalan
ekonomi ini disebabkan antara lain oleh tidak diterapkannya prinsip-prinsip
ekonomi dalam kelembagaan, ketidak- merataan ekonomi, dan lain-lain. yang juga
dipicu dengan maraknya praktek monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh
para penyelenggara negara
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada
filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN
sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan
dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama,
tidak semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang
memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk
Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas
manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan,
mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran
masyarakat bukan kemakmuran individu.
Sistem Politik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk
republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa (the
Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah
tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan
rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar
di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di
bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus
1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah jatuhnya Orde
Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem
pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk
mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Undang-undang Dasar
1945
Konstitusi Negara Indonesia
adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur kedudukan dan tanggung
jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas, dan hubungan antara lembaga-lembaga
negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan
kewajiban warga negara. Lembaga legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang merupakan lembaga tertinggi negara dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri
atas Presiden, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil
presiden dan kabinet. Di tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh
seorang gubernur, sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh
seorang bupati/walikota.
Lembaga Yudikatif
menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai
lembaga kehakiman tertinggi bersama badan-badan kehakiman lain yang berada di
bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan pengadilan, pengawasan, pengaturan,
memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 dalam
proses amandemen, yang telah memasuki tahap amandemen keempat. Amandemen
konstitusi ini mengakibatkan perubahan mendasar terhadap tugas dan hubungan
lembaga-lembaga negara.
Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR)
Fungsi pokok MPR selaku
lembaga tertinggi negara adalah menyusun konstitusi negara; mengangkat dan
memberhentikan presiden/wakil presiden; dan menyusun Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Fungsi
pokok MPR yang disebut di atas dapat berubah bergantung pada proses amandemen
UUD 1945 yang sedang berlangsung. Jumlah anggota MPR adalah 700 orang, yang
terdiri atas 500 anggota DPR dan 200 anggota Utusan Golongan dan Utusan Daerah,
dengan masa jabatan lima tahun.
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR)
Selaku lembaga legislatif,
DPR berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan bersama-sama dengan
pemerintah menyusun Undang-undang. Jumlah anggota DPR adalah 500 orang, yang
dipilih melalui Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali.
Presiden/Wakil Presiden
Presiden Republik Indonesia
memegang pemerintahan menurut UUD 1945 dan dalam melaksanakan kewajibannya,
presiden dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam sistem politik Indonesia,
Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang kedudukannya
sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Presiden juga berkedudukan selaku
mandataris MPR, yang berkewajiban menjalankan Garisgaris Besar Haluan Negara
yang ditetapkan MPR.
Presiden mengangkat
menteri-menteri dan kepala lembaga non departemen TNI/Polri/Jaksa Agung) setingkat menteri
untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Dalam UUD 1945 (versi sebelum amandemen)
disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang
terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Mahkmah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah
pelaksana fungsi yudikatif, yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara
lainnya. MA bersifat independen dari intervensi pemerintah dalam menjalankan
tugasnya menegakkan hukum dan keadilan, meski penunjukan para hakim agung
dilakukan Presiden.
Lembaga Tinggi Negara
Lainnya
Lembaga tinggi negara
lainnya adalah Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA). Fungsi utama BPK adalah melakukan pemeriksaan keuangan pemerintah.
Temuan-temuan BPK dilaporkan ke DPR, selaku badan yang menyetujui Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). DPA berfungsi untuk memberi jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan Presiden yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, termasuk dalam
masalah politik, ekonomi, social budaya, dan militer. DPA juga dapat memberi
nasehat atau saran atau rekomendasi terhadap masalah yang berkaitan dengan
kepentingan negara. Anggota DPA diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden
untuk masa bakti lima tahun. Jumlah anggota DPA adalah 45 orang.
Pemerintah Daerah
Di tingkat daerah, sebuah
provinsi dikepalai oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten/kotamadya
dikepalai oleh seorang bupati/walikota. Saat ini terdapat 30
provinsi dan 360 kabupaten/kotamadya. Sejak diberlakukannya UU Nomor
22/1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001,
kewenangan pengelolaan daerah dititikberatkan ke Kabupaten, sehingga hubungan
antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten lebih bersifat koordinasi. Hubungan lembaga legislatif,
eksekutif, dan legislatif di tingkat daerah sama halnya dengan hubungan
antarlembaga di tingkat nasional. Contohnya, tugas DPR Tingkat I adalah
mengawasi jalannya pemerintahan di tingkat provinsi dan bersama-sama dengan
Gubernur menyusun peraturan daerah. Lembaga yudikatif di tingkat daerah
diwakili oleh Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
PEMERINTAHAN
Profil Negara
Ketika pecahnya PD II di Eropa yang menyebar hingga ke
pasifik, Jepang berhasil menduduki Hidia Timur Belanda pada Maret 1942, setelah
menyerahnya tentara kolonial Belanda mengikuti jatuhnya Hongkong, Manila, dan
Singapura.
Pada 1 April 1945 pasukan amerika mendarat di Okinawa.
Kemudian pada 6 dan 9 agustus Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke atas dua
kota di Jepang, hiroshima dan nagasaki. Sekian hari kemudian pada 14 agustus
1945, Jepang menyerah kepada tentara sekutu.
Peristiwa tersebut membuka peluang bagi rakyat Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. Tiga hari setelah menyerahnya Jepang secara
mutlak, pada 17 agustus 1945 pemimpin nasional Indonesia Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di hadapan rakyat.
Proklamasi mengambil tempat pada Jalan Pegangsaan Timur
58 Jakarta, didengar oleh ribuan rakyat Indonesia di seluruh negeri karena teks
tersebut disiarkan secara rahasia oleh operator radio Indonesia menggunakan
pemancar milik stasion radio Jepang, Jakarta Hoso Kyoku. Terjemahan proklamasi
dalam bahasa Inggris juga disiarkan ke luar negeri.
Pancasila adalah falsafah
dasar negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata sansekerta, Panca
berarti lima, dan sila memiliki arti prinsip. Pancasila mengandung lima dasar
yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Mereka adalah:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
- Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Undang Undang Dasar 1945
Konstitusi Republik Indonesia selalu merujuk kepada
Undang Undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan karena konstitusi negara disusun
dan diadaptasi pada tahun 1945 ketika pendirian republik, dan secara jelas
membedakannya dari konstituso lainnya yang diperkenalkan bebas di Indonesia.
Lebih lanjut, muatan danri UUD 1945 menuliskan jelas tujuan dan sasaran untuk
kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan mempertahankannya di
kemudian hari. Hal ini merefeleksikan
semangat dan kekuatan masa tersebut ketika merancang konstitusi. Ini
menginspirasikan urgensi untuk persatuan dan kesamaan tujuan serta demokrasi
yang dibangun atas konsep warisan Indonesia dalam gotong-royong dan musyawarah
mencapai mufakat. Diawali dengan sebuah pembukaan, undang undang dasar republik
indonesia terdiri atas 37 pasal, empat aturan peralihan dan dua peraturan
tambahan.
Pembukaan disusun dalam empat paragraf dan mengandung
sebuah kutukan terhadap segala bentuk penjajahan di dunia, sebuah keterangan
perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan, sebuah deklarasi kemerdekaan dan
pernyataan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dasar negara. Selanjutnya juga
menyatakan bahwa kemerdekaan nasional Indonesia didirikan ke dalam sebuah
negara kesatuan Republik Indonesia dengan kekuasaan berada di tangan rakyat.
Negara miliki dasar falsafah hidup sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dibimbing oleh falsafah fundamental tersebut, tujuan
dasar negara adalah mewujudkan sebuah pemerintahan Indonesia yang melindungi
seluruh rakyat dan bumi pertiwi Indonesia, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, mengembangkan kehidupan intelektualitas negara dan berkontribusi
mewujudkan sebuah tata dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, kedamaian dan
keadilan sosial.
Amandemen UUD 1945
Sejak era reformasi, UUD 1945 mengalami beberapa
amandemen, tambahan dan penyempurnaan sebanyak empat kali pada sidang tahunan
MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Amandemen
berdasarkan meliputi sekian tema yang di antaranya adalah sebagai berikut:
- Kekuasaan
Konstitusi UUD 1945 sejak awal menganut sebuah ideologi yang menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan didelegasikan secara mutlak oleh Majelis Pertimbangan Rakyat. Hal ini menganut sebuah ideologi kekuasaan MPR, menjadikan MPR menjadi sebuah institusi negara yang memiliki kewenangan tidak terbatas karena MPR menjadi sebuah Institusi yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kebesaran dan kekuasaan tanpa batas ini menyebabkan MPR menjadi tidak bisa dikontrol oleh Institusi negara manapun. Hal ini menyebabkan MPR menjadi sebuah organ terhebat institusi kenegaraan yang dalam tatanan institusi kenegaraan pemerintahan republik indonesia dan diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. Menyikapi era perubahan, pandangan-pandangan UUD 1945 yang asli tidak lagi cocok terhadap ideologi demokrasi yang membutuhkan implementasi sistem kontrol dan keseimbangan di antara institusi internal negara. Untuk itu, keputusan pasal 2 ayat 1 diubah menjadi kekuasaan di tangan rakyat dan didelegasikan menurut konstitusi. - Struktur dan kewenangan anggota Majelis
Pemusyawaratan Rakyat
Sebelum amandemen, struktur keanggotaan MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk utusan Militer dan Polisi Indonesia, Utusan Daerah (UD), dan Utusan Golongan (UG). Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum, sementara UD dan UG adalah hasil undangan. Undangan terhadap seluruh anggota MPR dirasakan tidak sesuai dengan pembelajaran dan semangat demokrasi, oleh sebab itu formulasinya dirubah dengan penyesuaian bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan amandemen ini, struktur keanggotaan MPR meliputi anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah, sebuah institusi perwakilan baru dalam tatanan kenegaraan republik indonesia - Kewenangan Presiden UUD 1945 menganut prinsip pemerintahan presidentil. Baik dalam hal teori maupun praktek ketatanegaraan dalam pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan presidentil menurut konstitsui tersebut, presiden memiliki kekuasaan dan peran yang besar dan penting. Itulah yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, sangat logis bila cukup banyak artikel yang terkait terhadap otoritas kepresidenan dalam UUD 1945, yang tersebar dalam berbagai macam pasal dan ayat, terutama yang berkaitan terhadap keuasaan mulai dari mengumumkan perang hingga mengabulkan permohonan maaf.
4. Pemilihan langsung
Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat Sejak berdirinya Republik Indonesia, pemilihan
presiden dan wakil presiden dilaksanakan oleh MPR dengan sebuah mekanisme
perwakilan tidak langsung. Sehubungan dengan semangat demokrasi yang
menyaratkan bawah rakyat diberikan hak untuk memilih presiden dan wakil
presiden secara langsung, sehingga sistem pemilihan oleh MPR hari diganti
menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat.Jika kondisi pada putaran pertama
pemilu tidak terpenuhi, putaran kedua dilaksanakan dengan mencalonkan pasangan
dengan suara terbanyak nomor urut satu dan nomor dua pada putaran pertama.
Pasangan yang mendapatkan suara terbanyak akan dilantik menjadi presiden dan
wakil presiden.
5. Masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden Sebelum diamandemen, formulasi masa jabatan presiden dan wakil
presiden di dalam UUD 45 tidak secara tegas atai kongkrit mengatur freukuensi
masa jabatan. Konsekuensinya, hal ini membuka kesempatan untuk berbagai macam
interpretasi. UUD 1945 yang diamandemen mengatur bahwa presiden dan wakil
presiden menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa
berikutnya. Hal ini mengartikan bahwa warga negara Indonesia hanya dapat
dipiluh sebagai presiden dan wakil presiden untuk 10 tahun masa jabatan.
- Pemberhentian
Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan Selama ini tidak ada
pasal dalam UUD 1945 yang mengatur pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dari jabatan mereka. UUD hanya menetapkan sebuah pasal terhadap
pertanggungjawaban presiden sebelum sidang luar biasa MPR yang didasari
dengan undangan dari DPR. Hal ini dijalankan bila DPR merasa presiden
benar-benar melakukan pelanggaran terhadap garis besar haluan negara.
Saat ini UUD 1945 yang telah diamandemen memuat faktor-faktor dan prosedur-prosedur resmi yang menyebabkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari jabatannya. - Pengantian Presiden di tengah masa jabatan oleh Wakil Presiden Menurut UUD 1945, posisi wakil presiden adalah untuk membantu presiden menjalankan tugasnya. Posisi tersebut menjadikan wakil presiden secara otomatis menggantikan presiden hingga akhir masa jabatannya bila presiden meninggal, mengundurkan diri, atau tidak mampu menjalankan tugasnya selama masa jabatannya.
8.
Pelaksana tugas kepresidenan Meskipun tidak mungkin, terdapat juga kemungkinan lain
pada kondisi darurat yang disebabkan oleh, misalnya, presiden dan wakil
presiden meninggal secara bersamaan, mengundurkan diri, dan diturunkan atau
tidak mampu menjalankan kewajibannya selama masa jabatannya. Dalam konsisi ini,
pengambil kebijakan yang memiliki legal formal yang kokoh amat
dibutuhkan.Mengantisipasi kasus-kasus seperti ini UUD 1945 yang telah
diamandemen, menetapkan bahwa dalam kondisi demikian maka pelaksana tugas-tugas
kepresidenan terdiri dari tiga anggota kabinet yaitu: Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan.
9.
Pembentukan Dewan Penasihat Presiden dan penghapusan Dewan Pertimbangan
Agung Keberadaan DPA sebagai sebuah
lembaga negara, dahulu adalah setara dengan presiden dan memiliki tugas
memberikan masukan dan pertimbangan ke presiden yang pada akhirnya dinilai
kurang effektiv dan effisien. Hal tersebut karena masukan dan pertimbangan yang
diberikan ke presiden bersifat tidak mengikat.Berdasarkan pertimbangan
tersebut, UUD 1945 yang diamandemen menghapus keberadaan DPA. Menggantikan hal
tersebut konstitusi yang baru memberikan wewenang ke presiden untuk membentuk
dewan penasihat yang memiliki tugas memberikan masukan dan pertimbangna ke
presiden.
- Menteri negara Sebagai konstitusi yang menganut ideologi sistem pemerintahan presidentil, UUD 1945 yang diamandemen menegaskan bahwa menteri-menteri negara, yang dipilih dan ditugaskan oleh presiden, adalah pembantu presiden.
- Pemerintahan daerah Daerah diberikan kebebasan dan wewenang untuk memanfaatkan dan mengatur sumber daya alam yang dimiliki, dengan produk perundang-undangan yang dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Otonomi daerah dijalankan dan terwujud di bawah negara kesatuan Republik Indonesia.Konstitusi baru yang telah diamandemen juga mengatur pengakuan negara serta penghormatan terhadap unit administrasi daerah, yang memiliki status khusus dan istimewa.
- Dewan Perwakilan Daerah UUD 1945 yang diamandemen memperkenalkan sebuah institusi perwakilan baru dalam struktur pemerintahan Indonesia. Institusi tersebut adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti tertuang dalam pasal VII A bertajuk DPD.
Bendera Nasional
Bendera nasional Indonesia adalah “Sang Saka Merah
Putih”. Bendera itu terdiri dari dua warna, merah di atas warna putih. Dimana
lebarnya adalah dua pertiga dari panjangnya, atau dua meter dan tiga meter.
Dikibarkan di depan istana kepresidenan, gedung-gedung pemerintahan dan kantor
perwakilan Indonesia dan di luar negeri. Bendera pertama berkibar gagah pertama
kalinya di tengah-tengah penjajahan Jepang pada upaca hari kemerdekaan di depan
istana kepresidenan di ibukota Jakarta. Bendera bersejarah ini, atau “bendera
pusaka”, dikibarkan terakhir kalinya pada 17 Agustus 1968. Sejak itu bendera
tersebut disimpan dan digantikan oleh sebuah replika yang dirajut dari sutera
asli Indonesia.
Lambang negara Indonesia adalah sebuah elang emas,
disebut juga dengan “garuda” yang merupakan sebuah figur epik Indonesia kuno.
Lambang ini juga digambarkan dalam banyak candi-candi dari abad ke 6. Elang
adalah sebuah simbol energi yang kreativ. Warna dasarnya adalah emas,
mewatakkan kehebatan sebuah bangsa. Warna hitam mewakili alam. Terdapat 17
helai pada setiap sayapnya, 8 helai pada ekor dan 45 pada bulu leher. Hal ini
menujukkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia: 17 Agustus 1945. Semboyan,
“Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi satu jua), ini tertulis pada pita
yang digenggam oleh cakar garuda.
Lagu kebangsaan Indonesia adalah “Indonesia Raya”. Lagu ini dikarang pada tahun 1928. Kelahiran
Indonesia Raya menandai permulaan gerakan nasionalis Indonesia. Lagu ini
diperkenalkan pertama kalinya oleh sang pengarang, Wage Rudolf Supratman, pada
Kongres Pemuda Indonesia kedua pada 28 oktober 1928 di Batavia, sekarang
Jakarta esei Perubahan Konstitusi dan Demokrasi Bambang Widjajanto Setengah abad lalu, ketika
banyak bangsa melepaskan diri dari penjajahan, konstitusi dimaknai sebagai
hukum dasar yang memberikan dasar identitas dan legitimasi baru bagi sang
penguasa baru. Satu-dua dekade belakangan ini, konstitusi --bagi negara yang baru
menumbangkan rezim diktator dari bangsanya sendiri-- dimaknai sebagai era baru
menuju sistem kekuasaan yang demokratis. Tapi nampaknya, jalan yang tengah
diretas Indonesia melalui perubahan konstitusi justru mengarah pada pembentukan
supremasi legislatif yang jelas berbeda dengan pembentukan sistem kekuasaan
demokratis.
Secara umum, jika bicara soal Konstitusi bisa jadi
memang tak menarik. Dalam konteks Indonesia, lihat saja dari berita-berita di
berbagai media ; perbincangan konstitusi hanya menjadi ecek-ecek berita. Memang
bagi sebagian kalangan political scientist, konstitusi 'agak diabaikan'
keberadaannya. Dasar logikanya sangat menuruti akal sehat, yaitu konstitusi
hanya memuat kumpulan teks, sementara permainan politik acapkali tidak
didasarkan atas aturan di dalam konstitusi, sebab konstitusi kerapkali tak
diperlukan dalam perebutankekuasaan. Contoh
paling kongkrit bisa dilihat dalam kasus di Filipina dan Indonesia. Diktator Marcos dan Suharto ditumbangkan bukan
karena aturan yang tersebut didalam konstitusi.
Bahkan bagi sebagian kalangan hukum, konstitusi
hanya dimaknai sebagai ketentuan normatif yang mengatur relasi antara suatu
institusi dan warga negara di dalam suatu pemerintahan. Hingga tak begitu
berarti bagi kepentingan langsung persoalan penegakan hukum sehari-hari; juga
tak begitu perlu untuk diperdebatkan apakah penegakan hukum itu akan berkaitan
erat dengan format dan struktur kekuasaan yang seharusnya diatur di dalam
konstitusi. Berpijak dari faktor ini, maka bisa jadi bicara konstitusi seolah
bicara soal fiksi, karena tak langsung menyentuh persolan sehari-hari. Atau
mungkin malah bicara sesuatu yang kurang berarti.
Fakta diatas mungkin ada benarnya, apalagi jika
diletakkan dalam konteks transisi Indonesia. Lihat saja, pemberitaan perseteruan
Gus Dur dan beberapa kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberitaan cenderung
meliput pertikaian politiknya saja, dan perseteruan itu dianggap tak berkaitan
dengan problem format kekuasaan, dimana konstitusi yang ada memang tak mengatur
bagaimana mengelola konflik seperti itu. Sehingga solusi yang ditawarkan hanya
berkisar pada kompromi politik saja, ketimbang mendesain suatu sistem kekuasaan
yang bisa mengelola konflik antar lembaga kekuasaan. Disatu sisi, dinamika
intensif antar lembaga negara memang penting, namun alau itu tak berarti terus
terjadi konflik yang berkepanjangan dan tak terselesaikan Itu sebabnya tak ada
diskursus yang diperdebatkan secara mendalam untuk menyusun suatu format
politik guna mengelola konflik antara institusi negara secara demokratik.
Diskursus itulah yang tidak masuk ke dalam perubahan konstitusi yang terjadi di
Indonesia. Juga, tak terlihat ada usaha yang komprehensif, agar rakyat
mempunyai akses untuk mengontrol otoritas kekuasaan agar tidak berbuat
sewenang-wenang. Kesemua soal itu, nampaknya tak begitu penting untuk didesakan
di dalam perubahan konstitusi. Akibatnya, perubahan konstitusi menjadi isu yang
tak diminati dan dianggap tak berarti bagi masa depan Indonesia.
Padahal, konstitusi boleh jadi merupakan 'power
maps' dari format dan struktur politik suatu kekuasaan. Karena disanalah diatur
bagaimana suatu kekuasaan bekerja didalam suatu pemerintahan. Dimana, struktur,
sistem, karakter serta bekerjanya suatu mekanisme kekuasaan, bisa diformat dan
dilacak melalui konstitusi. Bahkan perangkat lunak kekuasaan berupa ideologi
atau filsafat suatu negara, seharusnya juga bisa ditemukan melalui konstitusi.
Juga, di dalam konstitusilah, pembatasan kekuasaan suatu pemerintahan diatur
secara limitatif, selain hubungan antara institusi negara. Dari sini kelak juga
bisa dilacak apakah sistem kekuasaan suatu negara mengakomodasi sistem
pemerintahan yang bercirikan check and balances sistem.
Secara umum hendak dikatakan bahwa konstitusi
seharusnya mengatur dan memuat kerangka organisasional suatu kekuasaan,
ketentuan hukum dasar suatu pemerintahan dan aturan-aturan yang menjamin
hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Singkatnya, konstitusi
menjadi hukum dasar yang mengatur suatu mekanisme kekuasaan bekerja dan kekuasaan
itu harus diarahkan bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat secara
keseluruhan. Pada titik inilah, sistem kekuasaan mungkin bisa disebut sebagai
demokratis.
Kalau konstitusi dimaknai seperti hal diatas, maka
terlalu riskan dan sangatlah naïf bila perubahan konstitusi di Indonesia hanya
diserahkan pada kelompok tertentu yang justru mempunyai vested interest untuk
kepentingan kelompoknya saja. Apalagi mereka tidak secara sungguh-sungguh
mewakili kepentingan seluruh rakyat karena sistem pemilihan anggota Dewan
--yang sebagian besarnya menjadi anggota Majelis dan secara normatif punya
kewenangan merubah konstitusi-- tidak dipilih langsung oleh rakyat sang pemilik
kedaulatan sejati.
Ada kemungkinan, kendati harus dibuktikan,
beberapa kalangan Dewan secara sengaja memonopoli proses perubahan konstitusi.
Argumen normatif yang selalu diajukan adalah Pasal 3 Undang-Undang Dasar dan
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, dimana perundangan itu secara tegas menyatakan
bahwa perubahan konstitusi dilakukan oleh MPR. Dalam perspektif positif, motif
dibalik tindakan monopoli adalah mengembalikan proporsi atas fungsi dan
kewenangan parlemen di dalam format dan sistem pemerintahan. Karena hampir
lebih dari tiga dekade, Dewan hanya menjadi instrumen politik bagi kepentingan
eksekutif saja. Dalam perspektif lain, ada indikasi kuat kini terjadi suatu
proses yang disebut sebagai supremasi legislatif. Proses seperti ini, mungkin
saja secara potensi sama tidak baiknya dengan eksekutif heavy yang pernah
terjadi selama tiga decade lalu.
Untuk membuktikan sinyalemen ini, beberapa
indikasi bisa dilihat dari proses Perubahan Pertama Konstitusi tahun 1999. Dari
9 pasal perubahan, 6 pasal perubahan berkaitan dengan peran dan kewenangan DPR
dan MPR. Keseluruhan proses perubahan itu mengeliminasi berbagai kewenangan
presiden disatu sisi, namun memperluas kewenangan dewan disisi lainnya.
Cilakanya lagi, perubahan ini tidak berpretensi menciptakan check and balances
sistem diantara lembaga tinggi negara. Begitupun di dalam Perubahan Kedua
Konstitusi, ada sekitar empat tema perubahan, yaitu : soal hak asasi, otonomi
pemerintahan daerah, pertahanan dan keamanan negara serta soal wilayah, lambang
negara dan warga negara.
Dalam perubahan ini, ada sekitar 5 pasal yang kian
mengukuhkan berbagai kewenangan dari Dewan. Sebut saja misalnya, dewan akan
mempunyai berbagai hak lain yang akan diatur oleh Undang-undang selain yang
telah disebutkan secara limitative dalam konstitusi seperti: hak interplasi,
hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak
menyampaikan usul dan pendapat, hak imunitas, selain mempunyai fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan. Sementara, pemberhentian anggota Dewan akan
diatur dalam undang-undang (yang tak jelas kapan akan dibuat).
Melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, hak untuk
melakukan Judicial Review atas ketentuan perundangan yang lazimnya dimiliki
oleh lembaga judikatif diambil alih oleh MPR. Pasal 5 Ketetapan diatas
menyatakan bahwa MPR lah yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD dan
Ketetapan MPR, sedangkan MA hanyalah menguji peratauran dibawah Undang-undang.
Berbagai fakta diatas menunjukan bahwa parlemen
dengan segala kewenangan yang melekat pada dirinya, tengah mengarahkan proses
rekonstruksi politik melalui perubahan konstitusi menuju supremasi legislatif,
dengan mengabaikan pembentukan sistem kekuasaan yang mengarah pada check and
balance sistem. Itu sebabnya, dalam dua perubahan konstitusi yang telah
dilakukan, tidak ada satupun mekanisme yang bisa mengontrol kewenangan anggota
dewan; dan itu artinya rakyat tak memiliki akses untuk mengontrol
penyalahgunaan kewenangan yang kelak dilakukan anggota dewan dan majelis.
Kalau fakta-fakta diatas bisa digunakan untuk
memperkuat sinyalemen bahwa memang kini terjadi suatu tendensi yang mengarah
pada supremasi legislatif, maka jelas kalangan Dewan dan Majelis akan
mengeliminasi segala kepentingan yang berusaha untuk mempersoalkan
kewenangannya di dalam melakukan perubahan atas konstitusi. Karena dengan
begitu, parlemen akan bisa mengontrol proses perubahan sesuai dengan
kepentingannya sendiri. Jadi, dengan begitu, parlemen secara sadar akan menolak
segala usaha yang menginginkan proses perubahan konstitusi tidak ditangani oleh
mereka. Padahal, perubahan konstitusi yang dilakukan di Thailand dan Philipina,
justru dilakukan oleh bukan kalangan parlemen. Partisipasi publik didorong
untuk merancang dan mengambil keputusan di dalam perubahan konstitusi.
Sedangkan hal lain yang berkenaan dengan apakah
supremasi legislatif itu bertentangan dengan sistem kekuasaan yang demokratis
tentu harus dielaborasi lebih jauh lagi. Tapi yang pasti, dua perubahan
konstitusi yang telah dilakukan dan tendensi yang mengarah pada supremasi
legislatif tu telah mengabaikan pembentukan sistem kekuasaan yang bercirikan
check and balances. Padahal, sistem ini menjadi salah satu ciri dalam
pembentukan sistem kekuasaan yang demokratis. Kalau begitu ada indikasi kuat
MPR --melalui Badan Pekerja MPR, kususnya Panitia Ad Hoc II-- telah gagal
mengemban amanat untuk melakukan perubahan konstitusi guna menciptakan sistem
dan format kekuasaan yang demokratis. Kalau
begitu, kita semestinya tahu apa yang harus dilakukan! rbedaan
Negara Dan Pemerintahan By : M. dasar Karimuddin Negara dan pemerintahan
merupakan dua istilah yang hampir sama, akan tetapi jauh berbeda. Beberapa
pemikir barat memahami istilah tersebut cenderung sama, dimana raja- raja dan
para dictator juga menyamakan Negara dan pemerintahan. Raja francis Louis XIV
mengatakan: Aku adalah Negara. Dilain pihak Adolph Hitler berseru” aku adalah
german. Sedangkan pelajar ilmu politik sangat sensitive dalam
memahami makna keduanya. Negara merupakan segala oknum masyarakat, sedangkan
pemerintahan merupakan kumpulan orang yang berjumlah kecil. Perbedaan Negara dan pemerintahan:
1. Negara adalah
seluruh komunitas secara tetap mendiami wilayah tertentu dan berhak untuk
berdaulat dalam urusan internal maupun eksternal. Sedangkan pemerintahan
merupakan bagian dari Negara, bisa diartikan pemerintahan adalah mesin untuk
mencapai tujuan Negara.
2. Negara merupakan persatuan yang kekal, dimana
pemerintahan bersifat sementara. Bagaimanapun persatuan komunitas dalam Negara
tidak bisa di taklukkan oleh siapa pun, walaupun Negara tersebut telah
terjajah. Sedangkan pemerintahan bisa berubah sewaktu- waktu dalam
persatuannya, layak lahirnya partai- partai baru maka berubahlah pemerintahan
tersebut.
3. Negara adalah
kedaulatan, kedaulatan adalah sifat dasar yang diperlukan untuk mendirikan
Negara. Sedangkan kedaulatan bukanlah atribut pemerintahan, jelasnya kedaulatan
bukan miliknya pemerintahan. Kita akui pemerintahan memiliki kekuasaan atas
Negara, tetapi perlu diingat kekuasaan tersebut diberikan oleh Negara dan
terbatas pula masanya.
4. Karakter- karakter Negara diseluruh dunia adalah sama.
Dimana komunitas menempati suatu wilayah secara tetap, memiliki pemerintahan
dan memperoleh kedaulatan Negara. Sedangkan pemerintahan memiliki karakter yang
berbeda, misalnya, sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem
pemerintahan dictator, sistem pemerintahan kepresidenan jauh berbeda dengan
sistem pemerintahan parlementer.
5. Belum pernah kita mendengar atau melihat demontrasi
rakyat terhadap
Kedaulatan Negara mereka, jika pun ada itupun memperjuangkan kedaulatan dari penjajahan. Sedangkan aksi perlawanan yang sering diluncurkan oleh rakyat bertemakan melawan pemerintahan, dan ini sering dan sangat akrab musimnya dewasa ini.
Kedaulatan Negara mereka, jika pun ada itupun memperjuangkan kedaulatan dari penjajahan. Sedangkan aksi perlawanan yang sering diluncurkan oleh rakyat bertemakan melawan pemerintahan, dan ini sering dan sangat akrab musimnya dewasa ini.
Walaupun perbedaan Negara dan pemerintahan terlihat
jelas, tetapi Negara dan pemerintahan tidak berjalan tampa dukungan satu sama
lain. Secara logis saya artikan Negara adalah sang Adam dimana pemerintahan
sebagai Hawanya.
1. Mirriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1977.
2. Rederick
Martin, Sosiologi Kekuasaan, Rajawali Pers, 1993.
3. Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu
Pengantar, Rajawali, 1986.
4. Soejono
Soekamto, Memperkenalkan Sosiologi, Rajawali 1986.
1. Soedjono Dirdjosisworo, Asas-asas Sosiologi, armoco,
1986.
2.
Tom
Bottomore, Sosiologi Politik, rineka Cipta, 1992.
3.
Cheppy
Hari Cahyono, Ilmu Politik, Tiara Wacana, 1991.
Cidadaun
Pancasila
dan Keberlanjutan NKRI
Oleh
Siswono Yudo Husodo
NEGARA kebangsaan Indonesia terbentuk dengan
ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis,
Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau
Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena
kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang
menjadi satu negara karena kesamaan ras.
Indonesia menjadi satu negara bangsa meski
terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena
kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan
Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah
Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.
Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas
upaya besar founding fathers, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara
memantapkan rasa kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945,
yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila
merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan
masyarakat kita yang beragam suku, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa
yang satu, Indonesia.
Itulah sebabnya, meski UUD 1945 telah
diamandemen empat kali, bagian pembukaan ini tetap tidak berubah, karena jika
berubah berarti membentuk negara baru, bukan yang diproklamirkan pada 17
Agustus 1945.
Paradigma fungsi
Sosiolog Talcott Parsons dalam buku Social
System menyatakan, jika suatu masyarakat ingin tetap eksis dan lestari, ada
empat paradigma fungsi (function paradigm) yang harus terus dilaksanakan oleh
masyarakat bersangkutan. Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara
sistem nilai budaya yang dianut karena budaya adalah endapan perilaku manusia.
Budaya masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari masyarakat
terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap memelihara nilai-nilai
yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan terbentuk masyarakat baru
yang lain.
Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan
dunia yang berubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban
masyarakat yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan
dunia. Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta
memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari
unsur-unsur masyarakat yang beragam secara terus-menerus sehingga terbentuk
kekuatan sentripetal yang kian menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal
attainment atau tujuan bersama yang dari masa ke masa bertransformasi karena
terus diperbaiki oleh dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya.
Pudarnya ideologi Pancasila
Sebuah negara bangsa membutuhkan Weltanschauung
atau landasan filosofis. Atas dasar Weltanschauung itu, disusunlah visi, misi,
dan tujuan negara. Tanpa itu, negara bergerak seperti layangan putus, tanpa
pedoman.
Dalam perspektif negara bangsa, empat function
paradigm Parson yang harus terus dilaksanakan masyarakat Indonesia agar dapat
hidup dan berkembang, kerangka sistemiknya termanifestasikan (terkristalisasi)
dalam Pancasila yang merupakan Weltanschauung bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini, terasa pamor Pancasila sedang
menurun. Pancasila juga dapat dipandang sebagai ideologi negara kebangsaan
Indonesia. Mustafa Rejai dalam buku Political Ideologies menyatakan, ideologi
itu tidak pernah mati, yang terjadi adalah emergence (kemunculan), decline
(kemunduran), dan resurgence of ideologies (kebangkitan kembali suatu
ideologi). Tampaknya, sejak awal reformasi hingga saat ini sedang terjadi
declining (kemunduran) pamor ideologi Pancasila seiring meningkatnya
liberalisasi dan demokratisasi dunia.
Sosialisasi Pancasila di masa lalu, di mana
yang mengikuti penataran memperoleh sertifikat dan menjadi persyaratan dalam
promosi jabatan, telah menjadikan Pancasila hafalan, dan tidak mewujud secara
substansial pada perikehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Membangkitkan kembali ideologi Pancasila
Dalam buku The Meaning of The 20th Century,
Kenneth E Boulding menyatakan, "Kebenaran yang diakui benar oleh semua
orang bukan ideologi yang patut diperjuangkan. Kebenaran yang diakui benar oleh
sebagian orang adalah ideologi yang patut diperjuangkan".
Agar Pancasila sebagai ideologi bangsa tetap
mempunyai semangat untuk diperjuangkan, kita perlu menerima kenyataan belum diterimanya
Pancasila oleh semua pihak. Dunia juga tampak belum yakin pada kelangsungan dan
kemajuan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami
oleh dunia sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan
eksistensi dan mengembangkan dirinya menjadi bangsa yang sejahtera dan modern.
Sebagai ideologi nasional, ia harus
diperjuangkan untuk diterima kebenarannya melewati batas-batas negara bangsa
kita sendiri. Tentu bentuk perjuangan ideologi pada waktu ini berbeda dengan
zaman berbenturannya nasionalisme dengan imperialisme, sosialisme dengan
kapitalisme, dan antara demokrasi dengan totaliterianisme. Keberhasilan
Pancasila sebagai suatu ideologi akan diukur dari terwujudnya kemajuan yang
pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat
Indonesia.
Ke depan, bangsa kita perlu berani menjadi
seperti bangsa Amerika Serikat yang ingin menyebarkan ideologi demokrasi ke
seluruh penjuru dunia.
Dalam pidato pelantikan untuk masa jabatan
kedua (2005-2009) pada 20 Januari 2005 lalu, Presiden George Walker Bush
mengatakan, kebijakan bangsa Amerika adalah terus mencari dan mendukung
pertumbuhan gerakan dan institusi demokrasi di segala bangsa dan budaya, dengan
tujuan utama mengakhiri tirani dunia.
Bangsa AS mampu melakukan itu hari ini karena
ideologi nasionalnya, demokrasi yang berintikan liberty (kebebasan), fraternity
(persaudaraan), dan egality (kesetaraan), telah berhasil menempatkan AS sebagai
negara bangsa terkemuka di dunia. Keberhasilan AS di berbagai bidang kehidupan
bukan saja telah melegitimasikan posisinya sebagai negara yang dirujuk dan
dihormati, tetapi juga menempatkannya sebagai sumber inspirasi serta teladan
banyak bangsa.
Hanya dengan mencapai kondisi bangsa yang maju,
sejahtera, dan bersatu sajalah Indonesia dapat menjadi salah satu rujukan
dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi untuk diterima oleh bangsa-bangsa lain
di dunia. Saya berpendapat, kondisi itu adalah hal yang mungkin terjadi yang
perlu diwujudkan; menjadi mission sacre kita sebagai suatu bangsa.
Tugas kaum terpelajarlah untuk
mengartikulasikan keinginan rakyat untuk maju dengan mewarnai Pancasila yang
memiliki rumusan tajam di segala bidang untuk menjawab tantangan yang sedang
dihadapi bangsa dan negara kita. Konsepsi dan praktik kehidupan yang
Pancasilais terutama harus diwujudkan dalam keseharian kaum elite, para
pemimpin, para penguasa, para pengusaha, dan kaum terpelajar Indonesia untuk
menjadi pelajaran masyarakat luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Modul
1
PANCASILA
DAN PENGETAHUAN ILMIAH
1. Bakry,
Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Liberty
2. Bertens
(1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
3. Ismaun.
Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara Indonesia.
4. Jacob
(1999). Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan IPTEK.Yogyakarta:
Interskip dosen-dosen Pancasila se Indonesia
5. Kaelan
(1986). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
6. Kaelan
(1996). Filsafat Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
7. Kaelan
(1998). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
8. Kaelan
(1999). Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
9. Kattsoff,
Louis O. (1986). Element of Philosophy (Terjemahan Soejono Soemargono:
Filsafat). Yogyakarta: Tiara Wancana
10. Liang
Gie, The (1998). Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB
11. Notonegoro
(1975). Pancasila Secara Utuh Populer. Jakarta: Pancoran Tujuh
12. Pangeran,
Alhaj (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika
13. Soemargono,
Soejono (1986). Filsafat Umum Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya
14. Soeprapto,
Sri (1997). Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LP-3-UGM
15. Sutardjo
(1999). Dasar Esensial Calon Sarjana Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka
16. Syafitri,
Muarif Achmad (1985). Islam dan Masalah Kengeraan. Penerbit
17. Wibisono,
Koento (1999). Refleksi Kritis Terhadap Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat
dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni 1999. Yogyakarta: Pusat Studi
Pancasila UGM
18. Yamin,
Muhammad). Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.Jakarta: Prapanca
19. Zubair
A., Charris (1995). Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Modul
2
ASAL
MULA PANCASILA
1. A.T.
Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
2. A.T.
Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula
Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
3. Alhaj
dan Patria, 1998. BMP. Pendidikan Pancasila. Penerbit Karunika, Jakarta 4 – 5.
4. Bakry
Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.
5. Dardji
Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang.
6. Harun
Nasution, 1983. Filsafat Agama, NV Bulan Bintang. Jakarta.
7. Kaelan,
1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
8. Kaelan,
1999, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
9. Koentjaraningrat,
1974, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia,Jakarta.
10. Notonagoro,
1957, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila Cet. 2, Pantjoran tujuhJakarta.
11. Soenoto,
1984, Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya, PT.
Hanindita, Yogyakarta.
Modul
3
FUNGSI
DAN KEDUDUKAN PANCASILA
1. Heuken,
1988, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, edisi 6, Yayasan Cipta
Loka Caraka, Jakarta.
2. Kaelan,
1996, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
3. Koentjaraningrat,
1980, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
4. Manuel
Kasiepo, 1982, Dari kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi,
dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, Dalam Jurnal Ilmu Politik, AIPI-LIPI,
PT. Gramedia, Jakarta.
5. Notonagoro,
1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9, Pantjoran tujuh,
Jakarta.
6. Soeprapto,
1997, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi, LP.3 UGM, Jogjakarta.
7. Suhadi,
1995, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah Fakultas Filasafat, UGM. Jogjakarta.
8. Suhadi,
1998, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah, Jogjakarta.
Modul
4
PANCASILA
DAN PEMBUKAAN UUD’45
1. Kaelan,
1999, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
2. Notonagoro,
1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
Modul
5
PELAKSANAAN
PANCASILA
1. Hadi
Sitia Unggul, SH, 2001, Ketetapan MPR 2001, 2000 dan perubahan I dan II UUD
1945, Harvarindo, Jakarta.
2. Kuntowijoyo,
1997, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung.
3. Moh.
Mahfud, 1998, Pancasila Sebagai Paradigma Pembaharuan Tatanan Hukum, dalam
Jurnal Pancasila no. 32 Tahun II, Desember 1998, Pusat Studi Pancasila UGM,
Yogyakarta.
4. Notonagoro,
1971, Pancasila Secara ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta.
5. Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary
of Current English*, 1980
6. Pranarka,
A.M.W., 1985, SejarahPemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
7. Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi di Indonesia dalam Perspektif
Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli 1999, Pusat
Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
8. Susilo
Bambang Yudhoyono, 1999, Keformasi Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis),
dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli 1999, Pusat Studi Pancasila UGM,
Yogyakarta.
Modul
6
PANCASILA
DAN PERMASALAHAN AKTUAL Pustaka Primer
1. Undang-Undang
Dasar 1945 beserta Amandemen Tahap Pertama
2. Ketetapan-Ketetapan
MPR RI dalam Sidang Istimewa tahun 1998
3. Ketetapan-Ketetapan
MPR RI dalam Sidang Umum tahun 1998
Pustaka Sekunder
1. Nopirin,
1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pancoran Tujuh, Jakarta, Cet 9.
2. Nopirin,1999,
Nilai-nilai Pancasila sebagi Strategi Pengembangan Ekonomi Indonesia, Internship Dosen-Desen Pancasila Se-Indonesia, Yogyakarta.
3. Pranarka,
A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
4. Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi di Indonesia dalam Perspektif
Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi
Pancasila UGM, Yogyakarta.
5. Susilo
Bambang Yudhoyono, 1999, Reformasi Politik dan Keamanan (Refleksi Kritis),
dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM,
Yogyakarta.
6. Syaidus
Syakar, 1975, Pancasila pohon Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia, Alumni, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar