KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
I.
ISLAM DAN ILMU
PENGETAHUAN
b.
Keutamaan
Menuntut Ilmu
c.
Adap-Adap Dalam
Menuntut Ilmu
d.
Syarat-Syarat
Ilmu
e.
Kedudukan Ilmu
Menurut Islam
f.
Klasifikasi Ilmu
Menurut Ulama Islam
g.
Filsafat Ilmu
h.
Menuntut Ilmu
Sebagai Ibadah
II KEDUDUKAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM
1. AKAL
a. Pengertian
Akal
b. Fungsi
Akal
c. Kekuatan
Akal
d. Kedudukan
Akal Sebagai Pengijitihad
e. Kedudukan
Akal Untuk Mengenal Diri Manuasia Sendiri
f. Kedudukan
Akal Untuk Meyakini Alam Gaib Atau Mahkluk Gaib
g. Kedudukan
Akal Untuk Memikirkan Penciptaan Allah Swt
2. WAHYU
a. Wahyu
b. Pengertian
Wahyu
c. Fugsi
Wahyu
d. Kekuatan
Wahyu
III. KLASIFIKASI
DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM ISLAM
a. Sumber Dan Metode Ilmu
b. Keterbatasan Ilmu
c. Ilmu-Ilmu Semu
d. Klasifikasi Ilmu
IV KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
a. Model Kewajiban Menuntut Ilmu
BAB
III
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Perkembangan
ilmu pengetahuan di jaman modern seperti saat ini sangatlah penting dan telah
dimanfaatkan perkembanganya. Karena semua bidang kehidupan memanfaatkan
perkembangan tersebut, mulai dari sektor terkecil hingga ke sektor-sektor besar
yang digunakan untuk menunjang perekonomian suatu Negara. Oleh sebab itu,
keberadaan dan juga perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah dibutuhkan oleh
seluruh umat didunia ini karena bila ilmu pengetahuan hanya berhenti pada suatu
titik dan tidak mampu berkembang menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan umat manusia maka akan fatal akibatnya bagi kelangsungan
masing-masing individunya.
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini terinci sebagai
berikut:
1. Bagaimana
konsep umum pengetahuan dalam islam ?
2. Kedudukan
akal dan wahyu dalam islam ?
3. klasifikasi
dan karakteristik ilmu dalam islam ?
4. kewajiaban
menuntut ilmu dalam islam ?
1. Mengetahui Bagaimana konsep umum
pengetahuan dalam islam
2. Mengetahui
Kedudukan akal dan wahyu dalam islam
3. Mengetahui
klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam islam
4. Mengetahui
kewajiaban menuntut ilmu dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
ISLAM DAN ILMU
PENGETAHUAN
I.ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
A. PENGERTIAN ILMU
Ilmu merupakan kata yang
berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau
mengetahui. Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science,
sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science
umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan,
meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami
pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan
tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode
tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
B.KEUTAMAAN
MENUNTUT ILMU
Ilmu merupakan sandi terpenting dari
hikmah. Sebab itu, Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu atau berilmu
sebelum berkata atau beramal. Firman Allah: “ Maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya tidak ada Illah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu
serta bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah
mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad :19)Ilmu
sebelum berkata dan beramal. Sufyan bin Uyainah berkata: manusia paling bodoh
adalah yang membiarkan kebodohannya, manusia paling pandai adalah yang
mengandalkan ilmunya, sedangkan manusia paling utama adalah yang takut kepada
Allah.
Ibnu
Taimiyah membagi ilmu yang bermanfaat menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
lain-lain, seperti
yang
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas.
2.
Ilmu tentang persoalan-persoalan masalalu yang dikabarkan
Allah; persoalan-
persoalan
masa kini, dan persoalan-persoalan masa mendatang, seperti yang dikabarkan
dalam Al-Qur’an yaitu ayat tentang kisah-kisah, janji-janji, ancaman, surga,
neraka, dan sebagainya.
3.
Ilmu tentang perintah Allah yang berhubungan dengan hati dan
anggota
badan,
seperti iman kepada Allah melalui pengenalan hati serta amaliah anggota badan.
Pemahaman ini bersumber pada pengetahuan dasar-dasar iman dan kaidah-kaidah
islam.
Ilmu
merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang “Barang siapa yang Allah
menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama.”
(HR Bukhori dan Muslim)
Menuntut
ilmu merupakan jalan menuju surga, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan
dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju
surga.” (HR Muslim)
Malaikat
akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu, “Sesungguhnya para malaikat
benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya.” (HR
Ahmad dan Ibnu Majjah)
C.
ADAB-ADAB DALAM MENUNTUT ILMU
Setelah
seorang mengetahui dan memahami akan keutamaan menuntut ilmu, maka hendaknya ia
memiliki perhatian yang besar terhadap permasalahan adab-adab dalam menuntut
ilmu, diantaranya adalah;
1.
Ikhlas
Seorang penuntut ilmu sebaiknya
punya perhatian besar terhadap keihlasan niat dan tujuan dalam menuntut ilmu,
yaitu hanya untuk Allah SWT. Karena menuntut ilmu adalah ibadah, yang namanya
ibadah tiadk akan diterima kecuali jika ditunjukkan hanya untuk Allah SWT.
2.
Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Sesungguhnya seorang hamba butuh
kepada kesungguhan dan semangat untuk memperoleh ilmu. Dia harus memaksakan
dirinya untuk jauh dari sifat lemah dan malas. Karena malas akan menyebabkan
terhalanginya seseorang untuk mendapatkan kebaikan yang banyak.
3.
Minta pertolongan kepada Allah SWT.
Ini adalah perkara penting yang
harus diperhatikan oleh seseorang dalammenuntut ilmu, bahkan perkara ini adalah
dasar yang harus ada dalam diri.
4.
Mengamalkan ilmu
Seseorang dalam menuntut ilmu harus
punya perhatian serius terhadap perkara
mengamalkan ilmu. Karena tujuan dari
menuntut ilmu adalah untuk diamalkan. Oleh sebab itu, seseorang harus
benar-benar berusaha mengamalkan ilmunya. Adapun jika yang dilakukan hanya
mengumpulkan ilmu namun berpaling dari beramal, maka ilmunya akan
mencelakakannya.
5.
Berhias dengan akhlaq mulia
Seorang berilmu sebaiknya menghiasi
diriknya dengan akhlaq mulia seperti lemah lembut, tenang, santun dan sabar.
6.
Mendakwahkan ilmu
Jika seseorang penuntut ilmu
mendapatkan taufiq untuk misa mengambil manfaat dari ilmumya, hendaknya ia juga
bersemangat untuk menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain.
D. SYARAT-SYARAT ILMU
Ilmu merupakan
pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan
Ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan
ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
a.Objetif Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan
masalah
yang sama sifat
hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam
mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu
dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan
subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan
terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c. sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu
objek,
ilmu harus terurai dan
terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu
sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan
rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara
sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
d. universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah
kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat
tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan
syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
E. KEDUDUKAN ILMU MENURUT
ISLAM
Ilmu menempati kedudukan yang
sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat AL
qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya
disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk
terus menuntut ilmu.
Didalam Al qur’an , kata ilmu
dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali , ini bermakna bahwa
ajaran Islam sebagaimana tercermin dari AL qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa
yang berkaitan dengan ilmu,
F. KLASIFIKASI ILMU MENURUT
ULAMA ISLAM.
Dengan melihat uraian
sebelumnya ,nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam ajaran islam . AL
qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama menempati kedudukan
yang sangat terhormat, sementara hadis nabimenunjukan bahwa menuntut
ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Dari sini timbul
permasalahan apakah segala macam Ilmu yang harus dituntut oleh setiap muslim
dengan hukum wajib (fardu), atau hanya Ilmu tertentu saja ?. Hal ini mengemuka
mengingat sangat luasnya spesifikasi ilmu dewasa ini .
Pertanyaan tersebut di atas
nampaknya telah mendorong para ulama untuk melakukan pengelompokan
(klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing, meskipun prinsip
dasarnya sama ,bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Syech Zarnuji
dalam kitab Ta’liimu AL Muta‘alim (t. t. :4) ketika menjelaskan hadis bahwa
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhya
tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah menuntutsegala sesuatu ilmu ,tetapi yang diwajibkan adalah menuntut
ilmu perbuatan (‘ilmu semua hal) sebagaimana diungkapkan ,sebaik-baik ilmu
adalah Ilmu perbuaytan dan sebagus -bagus amal adalah menjaga perbuatan”.
Kewajiban manusia adalah
beribadah kepeda ALLah, maka wajib bagi manusia(Muslim ,Muslimah) untuk
menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut ,seprti kewajiban
shalat, puasa, zakat, dan haji ,mengakibatkan wajibnya menuntut ilmu tentang hal-hal
tersebut . Demikianlah nampaknya semangat pernyataan Syech Zarnuji ,akan tetapi
sangat di sayangkan bahwa beliau tidak menjelaskan tentang ilmu-ilmu selain
“Ilmu Hal” tersebut lebih jauh di dalam kitabnya.
Sementara itu Al Ghazali di
dalam Kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan Ilmu dalam dua
kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in, dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau
menyatakan pengertian Ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut :
“Ilmu fardu a’in . Ilmu
tentang cara amal perbuatan yang wajib, Maka orang yang mengetahui ilmu yang
wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in “
(1979 : 82)
“Ilmu fardu kifayah. Ialah
tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi “
(1979 : 84)
Lebih jauh Al Ghazali menjelaskan
bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan segala cabangnya,
seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu yang termasuk dalam ilmu
(yang menuntutnya) fardhu kifayah antara lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung
untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada
dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan
urusan dunia.
Klasifikasi Ilmu yang lain
dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua
kelompok yaitu :
1. Ilmu yang merupakan
suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa
menemukannya karena
kegiatan berpikir.
2. Ilmu yang bersifat
tradisional (naqli).
bila kita lihat pengelompokan
di atas , barangkali bisa disederhanakan menjadi dua.
1). Ilmu aqliyah ,
dan 2). Ilmu naqliyah.
Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun
menyatakan :
“Kelompok pertama itu adalah
ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaituilmu pengetahuan yang bisa diperdapat
manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indra-indra kemanusiaannya ia
dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan
aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu
menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya
sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu
itu secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara
“ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310)
dengan demikian bila
melihat pengertian ilmu untuk kelompok pertama nampaknya mencakup
ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan
berpikir. Adapun untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk pada ilmu
yang sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al
qur’an dan sunnah Rasul.
Ulama lain yang membuat
klasifikasi Ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama
kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok
yaitu :
1). Al manqulat,
2). Al ma’qulat, dan
3). Al maksyufat.
Adapun pengertiannya
sebagaimana dikutif oleh A Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul
“Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah
Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993), adalah sebagai berikut :
1). Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama
yang disimpulkan dari atau mengacu
kepada tafsir, ushul al
tafsir, hadis dan al hadis.
2). Al ma’qulat adalah semua
ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting.
3). Al maksyufat adalah ilmu
yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan
indra, maupun pikiran
spekulatifSelain itu, Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam
dua kelompok yaitu :
1). Ilmu al husuli, yaitu
ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual,
formatif aposteriori dan
2). Ilmu al huduri,
yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari
esensi jiwa yang rasional
akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi .Meskipun demikian dua
macam pembagian tersebut tidak bersifat kontradiktif melainkan lebih bersifat
melingkupi, sebagaimana dikemukakan A.Ghafar Khanbahwa al
manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke dalam ilmu al husuli
G. FILSAFAT ILMU
filsat ilmu pada dasarnya
merupakan upaya untuk menyoroti dan mengkaji ilmu, dia berkaitan dengan
pengkajian tentang obyek ilmu, bagaimana memperolehnya serta bagaimana dampai
etisnya bagi kehidupan masyarakat. Secara umum kajian filsafat ilmu mencakup :
1) Aspek ontologis
2) Aspek epistemologis
3) Axiologis
Aspek ontologis berkaiatan
dengan obyek ilmu, aspek epistemologis berkaiatan dengan metode, dan aspek
axiologis berkaitan dengan pemanfatan ilmu. Dari sudut ini folosuf muslim telah
berusaha mengkajinya dalam suatu kesatuan dengan prinsip dasar nilai-nilai
keislamanyang bersumebr pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
H. MENUNTUT ILMU SEBAGAI IBADAH.
Dilihat
dari segi ibadah, sungguh menuntut ilmu itu sangat tinggi nilai dan pahalanya,
Nabi muhammad SAW bersabda yang artinya:
“ Sungguh sekiranya engkau
melangkahkan kakinya di waktu pagi (maupun petang), kemudian mempelajari satu
ayat dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka pahalanya lebih baik daripada ibadah
satu tahun.”
Mengapa menuntut ilmu itu sangat
tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah? Karena amal ibadah yang tidak
dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu akan sia-sialah amalahnnya.
Syaikh
Ibnu Ruslan dalam hal ini menjelaskan dalam hadist yang artinya : “ Siapa saja
yang beramal (melaksanaka amal ibadah) tanpa ilmu, maka segala amalnya akan
ditolak, yakni tidak diterima.”
II. KEDUDUKAN
AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM
Kedudukan Akal dan Wahyu
dalam Islam menempati posisi yang sangat terhormat,
melebihi agama-agama lain. Karena Akal dan Wahyu adalah suatu yang sangat
urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai
derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan
ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi
dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari Rasulullah Saw. Tidak hanya
itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah
amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu
yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus. Namun
dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhidan
sang Kholiq tak akan terukur dalam menemukan titik akhir, begitu pula dengan
wahyu sang Kholiq, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan
semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani antara
wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena Allah semata. Dan
tidak akan terjadi jika Allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah kemusyrikan terhadap Allah karena kesombongannya.
Untuk lebih jelas tentang
kedudukan akal dan wahyu dalam Islam, berikut dipaparkan tentang masing-masing
pengertian akal dan wahyu serta fungsi dan kekuatannya.
1. AKAL
A. Pengertian
Akal
Akal adalah suatu daya yang diciptakan
Allah Ta’ala bagi manusia untuk memikir, mengkaji dan memahami sesuatu mengikut
syarat-syaratnya yang tertentu
Kata
akal memiliki arti: menahan, mengekang, menjaga, dan semacamnya adalah lawan
dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak
pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk
ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu yang mengharuskan
untuk mengikutinya
B. Fungsi
Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam
kehidupan, antara lain:
a.
Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan
kebatilan
b.
Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika
permasalahan datang
c.
Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan
cara tingkah laku yang benar
Masih banyak lagi fungsi akal, karena
hakikat dari akal adalah sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur
dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik,
buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan
akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
C. Kekuatan Akal
Kekuatan akal lebih terlihat
jelas dan mudah dimengerti, seperti contoh:
a. Mengetahui Tuhan dan
sifat-sifatNya
b. Mengetahui adanya hidup
akhirat
c. Mengetahui bahwa kebahagian
jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan danberbuat baik, sedang
kesengsaran tergantung pada tidak mengenalTuhan dan pada perbuatan jahat
d. Mengetahui wajibnya manusia
mengenal Tuhan
e. Mengetahui wajibnya manusia
berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di
akhirat
f. Membuat hukum-hukum mengnai
kewajiban-kewajiban itu.
D. Kedudukan akal sebagai
pengijtihad
Kedudukan
akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para mujtahid
menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat.
Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari
seorang ahli hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at.
Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan
sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang
maksimal dalam menentukan hukum.
Ijtihad didalam islam
telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang menggambarkan kecemerlangan akal
pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut tentang
hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para
mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada.
Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka
akalnay harus tenang dan tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi
hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu
mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum tenang. Jika akal
fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan segala
perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali fungsi dan
peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid bisa
memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan
sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad.
E.Kedudukan akal untuk
mengenal diri manusia sendiri.
Otak
dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka saja
karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena
akal mencitrakan dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits
dinyatakan bahwa:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah
mengenal Tuhannya.
Dari hadits ini kita bisa
ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah mengenal dirinya maka dia
sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya
mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana
ia kembali. Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang menggunakan
akalnya untuk memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal mereka
akan menerawang jauh sejauh aklanya bisa berfikir darimana dia datang. Setelah
mnggunakan akal fikirannya dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal
jati dirinya bahwa kita semua itu datang karena ada yang menciptakan. Seseorang
akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat mereka buat,
benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada yang menciptakan. Dari itu
seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa
yang bisa menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka?
Dari penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa
menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah
benar sekali jika seseorang sudah mengenal dirinya maka sungguh mereka suda
mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya bisa mengenal dirinya sendiri,
maka mereka belum bisa mengunkan akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya
Dzat yang telah menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari kebenaran
itu, mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha kuasa
yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan “Kunfaakun” maka
jadilah.
Akal manusia sangatlah
terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan kemampuan untuk berfikir yang dijelaskan
oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan suatu batasan
didalam hadits yang berbunyi:
تَفَكَّرُوْا فِيْ خَلْقِ اللهِ وَلَا
تَفَكَّرُوْا فِى الله وَكُلُّ مَا وَرَدَ فِى بَالِكَ فَا للهُ بِخِلَافِ ذَلِك
Artinya: Berfikirlah tentang
ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang terlintas
dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.
Dari hadits diatas jelas
sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal manusia yang diberikan
oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT. Akan
tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat Allah.
Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha kuasa lagi maha
bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak sesuai
dengan metode yang sehat, sebab bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas
(mkhluk) memikirkan yang tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang
maha kekal, yang lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan
yang maha hidup.
Sebenarnya akal pun tidak
akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhui alam kosmos ini, baik
matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi
didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta
makhluk-makhluk itu. Sesumggunya dia:
لَاتُدْرِكُهُ الْاَبْصَرُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَرُ وَهُوَ
اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ الانعام
Artinya:
“Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang
kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS.
Al-An’am :
103)
Islam
meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya menggapai
iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila akal
melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu
dan terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak
tempat islam menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis
dan konklusi. Metode ini tidak mudah ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya
lebih dahulu.
Pembinaan
ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT tidak terbatas,
namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi, dan
merajut hubungan antara sebab dan akibat.
F. Kedudukan
akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.
Akal
diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan kegiatan
hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan misteri
alam raya ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa
langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini?
Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul dari benda mati?
Itulah
yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara
intuitif akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan
kesempurnaan temuan-temuan akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang
ada (wujud) dan tiada (‘adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal
manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini berhubungan dengan
kehendak pencipta.
Kalaulah
akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya, atau
akan terjatuh sepanjang masa.
Abu
Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal manusia untuk mengetahui
rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi
meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan
kritik terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas
akal, kita akan melihat kelemahan akal menjalankan tugas alamiahnya, dan bahkan
keterpaksaannya mencari bantuan dari sesuatu yang tidak lebih berarga
daripadanya. Misalnya untuk mengenal seseuatu yang belum pernah diketahui, akal
membutuhkan data-data yang telah dihasilkan sebelumnya. Premis-premis ini
tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat
pada obyek-obyek akal (ma’kulat) dan pengembaraannya yang panjang,
nampak bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-dunia
baru dan menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi
yang muncul secara tidak sempurna. Data-data permulaan yang sangat membantu
akal mencapai konklusi, mempunyai nilai yang tinggi karena indera manusia lemah
dan manusia sendiri tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah akal tidak akan
mampu menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam
masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun diantara kita yang lemah
dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau hendak terbang tanpa pesawat.
Jelas
sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal
untuk memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam,
misteri alam ghaib, dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak
mungkin akan mampu mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat
mampu masuk kedalam lubang jarum. Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri
mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-‘Arabi melepaskan akal dari
obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, karena obyek-obyek ini jauh
lebih besar daripada akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan
akal pada kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan
sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. “ Sulit untuk dipertanggungjawabkan,
asumsi bahwa akal berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak
mengklailm bahwa akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan
secara bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan medan
siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang yang dapat
mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi yang memang dianugrahi
sarana untuk mengetahui hakikatnya dan mengungkapkan aturan-aturannya.
G. Kedudukan akal untuk memikirkan
penciptaan Allah SWT
Sudah
pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan kepada
manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah
SWT. Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya,
bagaimana bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua
itu bisa manusia ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
اِنَّ فِىْ
خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَفِ اَّلليْلِ وَالنَّهَارِ لَاَيَتٍ
لِاُولِى الْاَلْبَابِ
اَلَّذِيْنَ
يَذْكُرُوْنَ اللَهَ قِيَمًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلَى جُنُوُبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِىْ خَ السَّمَوَاتِ
وَلْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا
بَاطلاً...ال عمران: 190-191
Artinya:
sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali
Imran: 190-191)
Demikianlah yang
difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasanya dari semua apa yang
diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari itu
sebagai manusia hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang
telah Allah ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang
begitu luas dan besar ini, bagaimana sang pencipta bisa merancang sedemikiran
rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit yang begitu luas dan
panjang yang dibentangkan dari masyrik ila magrib yang tidak ada satupun tiang
yang menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua.
Inilah kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya,
agar supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda
kebesaran Allah SWT.
Demikian pula dijelaskan
didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya siang dan malam. Bagaiman
pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan pasa sore
hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita memungkiri
semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap mahluknya?
Siapakah yang mampu memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian singa dan
malam?
Lagi-lagi kita disuruh
mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu. Hanya Allahlah yang mampu
mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan mengatur sulih
bergantinya siang dan malam.
Didalam akhir ayat diatas
diterangakan yang artinya.....”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptkan ini
dengan sia-sia”. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah
ciptakan tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk
mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini.
Jikalau manusia telah menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan
Allah tidak ada yang sia-sia. Karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.
Karena masalah akal dan wahyu dalam
pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah di antara kedua
akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan,
tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik
dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari
yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antra
lain:
a. Aliran
Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa akal
mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
b. Sementara
itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang
buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
c. Sebaliknya
aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga
berpendapat
bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan
yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
d. Sementara
itu aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat
hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat
diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima
kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan
yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu. Adapun ayat-ayat yang
dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan Mu’tazilah, dan
terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat As-Sajdah, surat
Al-Ghosiyah ayat 17 dan surat Al-A’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul
fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum
bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum
adalah akal manusia sendiri. Dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan
dalil Al-Qur’an surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional
mengambil beberapa ayat Al-Qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat
pendapat yang mereka bawa . Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat Al-isro,
ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.
Dalam
menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya memaparkan
hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti Harun Nasution
menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat islam
dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk
merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang
menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan potensi
akal yang dimiliki. Bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya
dasar saja dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama
tersebut.
2. Wahyu
A. Pengertian
Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata
arab الوحي,
dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari
bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki
dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu wahyu sering disebut
sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa
seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu
Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan
kepada Nabi.
Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainnya.
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi
manusia. Yang dimaksud memberi informasi di sini yaitu wahyu memberi tahu
manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan, menyempurnakan akal
tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan
hukuman yang akan diterima manusia di akhirat.
Sebenarnya
wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan Allah kepada
nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang
yang tak menyukai keberadaannya. Selain itu, sebagai bukti bahwa beliau adalah
utusan sang pencipta yaitu Allah Swt.
Memang sulit saat ini membuktikan jika
wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada,
oleh karena itu wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara
lain:
1) Wahyu
ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
2) Wahyu
lebih condong melalui dua mukjizat yaitu al-qur’an dan as-sunnah.
3) Membuat
suatu keyakinan pada diri manusia.
4) Untuk
memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
5) Wahyu
turun melalui para ucapan nabi-nabi.
III. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK ILMU DALAM
ISLAM
A. Sumber
dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah
peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu
pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan
inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam
ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang
ada. Turunnya wahyu Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, membawa semangat baru
bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa
manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni
lahirnya tradisi intel-induktif.
al-qur’an
menganggap ”anfus” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah
menumpahkan tanda-tandaNya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir.
Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan
pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa
kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang
telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi
dengan pikiran Yunani.
B. Keterbatasan
Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan
alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia
mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi. ”Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur
(AnNahl:78)
Keterbatasan ilmu manusia tidak
menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar
manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan
mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu
hingga zaman komputer.
C. Ilmu-Ilmu
Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun
kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu
yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
Pertama, sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah Swt, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Kedua, terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka. Ketiga, mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
D. Klasifikasi
Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan
dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang
berkembang, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870
– 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua
bagian besar, yakni ilmu-ilmuTanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang
dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah SWT
baik dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah SAW, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu
ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam.
Bersumber pada al-qur’an dan hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah
berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, di
antaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiyaa,
Sirah Nabawiyah,dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan
ilmu-ilmu, seperti dalamUlumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu
Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, danlain-lainnya.Bersumber pada ayat-ayat
Allah SWT, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang
ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman,
terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora),
dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya.
Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Antara ilmu Tanziliyah dan Kauniyah tidak
bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia.
Ilmu Tanziliyahberfungsi menuntun jalan kehidupan manusia,
sedangkan ilmu Kauniyahmenjadi sarana manusia dalam memakmurkan
alam ini. Kadang kala ayat- ayat Al-Qur’an atau teks-teks hadits memberikan
rangsangan bagi manusia untuk lebih menekuni lagi ilmu-ilmu Kauniyah. Sebaliknya,
ilmu-ilmuKauniyah dapat memperkuat bukti-bukti keagungan dan
kebesaran ayat-ayat Allah.
IV. KEWAJIBAN MENUNTUT ILMU PENGETAHUAN
Manusia
diciptakan lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain.
Kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya tersebut adalah dengan
dengan pemberian akal pikiran dalam penciptaannya. Akal inilah yang dapat
membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Dengan
akal itu Allah SWT telah memuliakan manusia, mengangkat derajatnya dengan
derajat yang tinggi. Akal adalah alat untuk berpikir, Allah SWT menjadikan akal
sebagai sumber tempat bermula dan dasar dari ilmu pengetahuan. Imam Ghazali
mengatakan sebagaimana dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, penyebutan
kata yang terkait dengan “al-‘aqlu” dalam Al-Qur’an sedikitnya ada
lima puluh kali dan penyebutan ‘Uulin-nuhaa’ sebanyak dua kali.
Allah
SWT berfirman dalam S. Al-Jastiyah ayat 3-5:
ان في السموات والارض لايات
للمؤمنين(3) وفي خلقكم ومايبث من دابة ايات لقوم يوقنون
(4) واختلاف اليل والنهار وماانزل
الله
من السماء من رزق فاحيابه الارض بعد موتها وتصريف الرياح ايات لقوم يعقلون(5)
Artinya: Sesungguhnya
pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk
orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang
melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang
diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi
sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berakal.
Di
dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dalam setiap ciptaan Allah terdapat ilmu
pengetahuan yang akan menunjukkan tanda-tanda Kebesaran Allah kepada manusia.
Untuk menggali dan mendapatkan pengetahuan itu manusia harus menggunakan akal
pikiran yang telah dianugerahkan kepadanya. Dalam hal ini wahyu dan akal saling
mendukung dan melengkapi untuk mendapatkan tanda-tanda Kekuasaan Allah.
Agama
Islam datang dengan memuliakan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta
menuntutnya kearah pemikiran Islam yang rahmatun
lil’alamin. Manusia harus dapat menggunakan kecerdasan yang
dimilikinya untuk kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di
akhirat.
Akal
sebagai dasar dari ilmu pengetahuan memberikan kemampuan kepada manusia untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk dan dapat memberikan argumen tentang
kepercayaan dan keberagamaannya. Dengan kemampuan akal untuk berpikir ini
manusia mampu menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.
Islam
juga meluaskan cakrawala manusia mengenai potensi intelektual, psikologis dan
unsur - unsur penting penghidupan lainnya. Islam mengajarkan
manusia untuk menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menguasai dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan akal yang dimilikinya
manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan.
Manusia
harus terus menimba ilmu karena ilmu terus berkembang mengikuti zaman. Apabila
manusia tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, niscaya pandangannya
akan sempit yang berakibat lemahnya daya juang menghadapi jalan kehidupan yang
cepat ini.
Salah
satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekananya terhadap
Ilmu (sains). Al-Qur’an dan al-Sunah mengajak kaum muslim untuk
mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Allah SWT telah menjanjikan
derajat yang tinggi bagi orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Allah
SWT berfirman:
واذا قيل انشزوا
فانشزوا يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتواالعلم درجات
“Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu” maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (al-Mujadalah
11).
Menurut al-Maraghi, tafsir
dari ayat ini adalah bahwa Allah meninggikan orang-orang yang mukmin dengan
mengikuti perintah-Nya dan perintah Rosul, khususnya orang-orang yang berilmu
di antara mereka beberapa derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat
keridlaan.(8) Ayat tersebut menunjukkan betapa
Allah SWT sangat memuliakan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Ayat tersebut
juga memberikan gambaran kepada manusia mengenai kedudukan ilmu pengetahuan,
sebagai bekal baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ada sebuah
ungkapan terkenal mengenai bagaimana orang harus menuntut Ilmu;“Tuntutlah ilmu
sekalipun di negeri Cina”.(HR. Ibnu ‘Adiy dan Al-Baihaqi).
Maksud
dari ungkapan tersebut adalah; bahwa ilmu harus dicari dan dikejar walaupun
berada di negeri yang sangat jauh sekalipun. Ungkapan tersebut menunjukkan
betapa penting dan utamanya kegiatan Talab al-‘ilm, hingga harus dilakukan
walau dengan perjalanan ke negeri yang sangat jauh sekalipun. Kata “negeri
Cina” di atas hanya sebagai perumpamaan negeri yang sangat jauh, karena negeri
Cina adalah negeri yang sangat jauh bagi umat Islam yang berada di Timur Tengah
pada waktu itu. Jadi seandainya sekarang negeri yang perekembangan ilmu
pengetahuannya paling maju, berada di belahan bumi bagian barat maka kesana
pula kita harus mengejar ilmu itu.
Rasulullah
menegaskan dengan sabda beliau:
طلب العلم فريضة على كل مسلم (رواه ابن ماجه
Majjah)
Jelaslah
dari sabda Rasul tesebut bahwasanya menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi
setiap muslim, tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. Begitu pentingnya
ilmu pengetahuan bagi manusia, karena orang beribadah kepada Allah juga harus
dengan ilmu
Penghargaan terhadap Ilmu Agama Islam
bersumber dari wahyu Allah Swt, sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari
pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil penyelidikan alam, yang
bertujuan mencari kebenaran ilmiah. IPTEK dalam Islam dipandang sebagai
kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan
memberi kemudahan pada peningkatan Ubudiyah kepada Allah.IPTEK dalam Islam juga
sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang
berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali
karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri.
Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:
1.
Turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah Saw (Al Alaq: 1–5)
2.
Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan
akal, pikiran, dan pemahaman (Al Baqarah: 44)
3.
Allah Swt memandang rendah
orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka
disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (Al A’raaf: 179)
4.
Allah memandang lebih tinggi derajat
orang-orang yang berilmu (Az Zumar : 9 dan Al Mujadilah:11)
5.
Allah akan meminta pertanggungjawaban
orang-orang yang melakukan sesuatu
tidak berdasarkan ilmu (Al Israa:36)
6.
Pemahaman terhadap ajaran agama harus
berdasarkan ilmu (Ali Imran:18)
7.
Dalam menentukan orang-orang pilihan yang
menjadi Khalifah di muka bumi ini Allah
melihat sisi keilmuannya (Al Baqarah: 247).
8.
Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman
untuk sentiasa berdo'a bagi pertambahan kekuasaan ilmunya (Thaha: 114).
Menuntut ilmu adalah bagian yan sangat
penting dari pengamalan ajaran Islam yang menunjukkan seseorang pada jalan
kehidupan yang memberikan keyakinan. Ilmu yang diperlukan bagi pembangunan
masyarakat yang pemanfaatannya dapat meningkatkan kemampuan produksi dalam
berbagai sektor kehidupan, sehingga Islam mewajibkan untuk menuntuti ilmu, baik
secara pribadi maupun kelompok.
A.
Model Kewajiban
Menuntut Ilmu
Ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh
seseorang pribadi terkait dengan status dirinya, sebagai seorang muslim dengan
kondisi-kondisi yang menyertainya. Seseorang yang telah mencapai usia baligh,
maka wajib bagi dirinya untuk mengetahui pokok-pokok ajaran agamanya.
Kewajiban-kewajiban lainnya datang menurut kondisinya. Kewajiban menuntut ilmu
yang terkait dengan kepentingan tiap individu muslim disebut fardhu 'ain.Yusuf
Qardhawi menyebutkan empat macam ilmu yang termasuk dalam fardhu 'ain:Ilmu
mengenai Aqidah Yaqiniyah yang benar, selamat dari syirik dan khufarat.
a.
Ilmu yang membuat ibadah seseorang terhadap
Tuhannya berjalan dengan benar sesuai dengan ketentuan yang
disyariatkan.
b.
Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati
disucikan, segala keutamaan dikenal untuk kemudian diamalkan.
c.
Ilmu yang bisa mendisiplikan tingkah laku
dalam hubungan seseorang dengan dirinya
atau dengan keluarganya atau dengan khalayak banyak.
d.
Ilmu-ilmu yang keberadaannya terkait dengan
kepentingan masyarakat muslim dan umum termasuk fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang
termasuk fardhu kifayah diantaranya ilmu-ilmu yang terkait dengan pendalaman
pemahaman syariat seperti Tafsir, ilmu Mustalah Hadits, ilmu Ushul Fiqh, dan
sebagainya. Juga ilmu-ilmu yang terkait dengan kebutuhan hidup di dunia seperti
ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan sebagainya.
Kesimpulan
-
Pengetahuan agama adalah
pengetahuan yang diwahyukan, yaitu pengetahuan tentang Al-qur'an dan hadis
serta semua pengetahuan tentang isinya yang biasa dikembangkan dalam tradisi
islam.
-
Ilmu pendidikan Islam adalah Ilmu pendidikan
yang berdasarkan Al-qur'an, hadis, dan akal.
DAFTAR
PUSTAKA
-Sumber didapat dari
internet
-http://sitiimunawaroh.blogspot.co.id/2015/04/ilmu-pengetahuan-dalam-islam.html
-Hery
Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta:
CV. Triasco, 2003), h. 109.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu
-Dra. HJ. Nuruhbiyati,
Ilmu Pendidikan Islam I, Cv Pustaka Setia, Jakarta. 1966
-Zainuddin, M.
Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.
-Hery Noer Aly &
Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco,
2003), h. 109.
Las Vegas Casino & Resort Map & Floor Plans - Mapyro
BalasHapusMapYro Realtime Gaming Floor Plans in Las Vegas, 청주 출장마사지 NV. 제천 출장마사지 View detailed Floor Plans, Floor Plans, Floor Plans, Floor Plans, 경주 출장샵 Floor Plans, Floor 과천 출장샵 Plans, Floor Plans, 의왕 출장샵